PLURALISME KEWENANGAN
DALAM PEMBUATAN KETERANGAN WARIS DI INDONESIA
DIHUBUNGKAN DENGAN KEPASTIAN HUKUM.
Keterangan ahli waris di Indonesia dikeluarkan oleh banyak pihak sehingga terdapat
pluralism dalam pembuatan keterangan ahli waris di Indonesia. Hal ini dapat
berpengaruh pada tercapainya kepastian hukum, karena satu peristiwa hukum
didokumentasikan dalam berbagai macam produk hukum, dapat berbentuk akta di
bawah tangan atau berbentuk akta otentik yang keduanya mempunyai akibat hukum
yang berbeda sebagai alat bukti untuk membuktikan siapa saja yang merupakan ahli
waris dari pewaris. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan gambaran pluralisme
pembuatan keterangan waris di Indonesia dihubungkan dengan kepastian hukum, serta
untuk menentukan bagaimana seharusnya keterangan waris dibuat dalam rangka
mencapai kepastian hukum.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang menekankan pada
penggunaan data sekunder dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas atau prinsipprinsip hukum. Spesifikasi penelitian yang digunakan deskriptif analitis, dengan tahapan
penelitian terdiri dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan cara
melakukan wawancara untuk melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan. Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul
dilakukan dengan metode analisis normatif kualitatif.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa pluralisme pembuatan keterangan
ahli waris di Indonesia yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak baik berbentuk akta di
bawah tangan maupun akta otentik, yaitu oleh pewaris itu sendiri dalam bentuk surat
wasiat; dalam bentuk putusan pengadilan; dalam bentuk akta notaris, serta dikeluarkan
Balai Harta Peninggalan. Pluralisme ini mempengaruhi terhadap tercapainya kepastian
hukum di bidang keterangan ahli waris, karena tidak semua keterangan ahli waris yang
bermacam-macam itu mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat diterima oleh
pihak ke tiga untuk digunakan sebagai bukti. Untuk tercapainya kepastian hukum,
seyogyanya keterangan ahli waris berbentuk akta otentik sehingga mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Oleh karena itu ke depan disarankan keterangan ahli
waris itu di buat dalam bentuk akta otentik baik berupa putusan pengadilan atau akta
notaris.
Kata kunci: keterangan ahli waris
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan alat yang efektif untuk mencapai tujuan sosial karena aturan
hukum secara konsisten melekat pada petugas hukum dan masyarakat. 1 Persoalan
yang dihadapi oleh negara kita adalah bagaimana hukum dapat memenuhi tujuan sosial,
sehingga menjadi efektif, sementara itu yang terjadi dalam reformasi hukum dinegara
kita banyak peraturan perundang-undangan dibuat hanya berdasarkan “pesanan”,
sehingga menimbulkan ketidaksesuaian antara hukum dan masyarakat, padahal
pembangunan hukum tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat.
Manusia selaku anggota masyarakat mempunyai tempat dalam masyarakat
dengan disertai hak dan kewajiban terhadap anggota masyarakat lainnya, dan juga
terhadap barang-barang yang berada dalam masyarakat itu. Dengan kata lain ada
berbagai hubungan antara seorang manusia disatu pihak dan dunia luar sekitarnya di
lain pihak sedemikian rupa yaitu saling mempengaruhi satu sama lain berupa
kenikmatan atau beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak. Apabila seorang
manusia yang merupakan salah satu pihak dalam suatu hubungan hukum pada suatu
waktu meninggal dunia, maka dengan sendirinya timbul pertanyaan apakah yang akan
terjadi dengan hubungan-hubungan hukum yang dilakukan pada waktu manusia
tersebut masih hidup.
Hubungan-hubungan hukum itu tidak lenyap seketika begitu saja dengan
meninggalnya seseorang, karena pada umumnya yang ditinggalkan oleh yang
meninggal itu bukan hanya manusia atau barang saja, tapi juga kepentingankepentingan yang berhubungan dengan anggota masyarakat lain, dan kepentingankepentingan tersebut membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian, karena apabila
tidak ada pemeliharaan dan penyelesaian maka akan timbul ketidakseimbangan dalam
masyarakat.
Hukum waris sebagai bidang hukum yang sensitif dan erat kaitannya dengan
hukum keluarga adalah salah satu contoh klasik dalam masyarakat Indonesia yang
bersifat heterogen (ber-Bhineka Tunggal Ika), karenanya tidak mungkin untuk
dipaksakan agar terjadi unifikasi di bidang hokum waris. 2 Akan tetapi Sunaryati Hartono
berpendapat bahwa bagaimanapun akibat munculnya pluralisme, mau tidak mau tidak
1
Hari Purwadi, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta,
2004, hlm. 64.
2
Eman Suparman, Hukum Perselisihan, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 128.
3
dapat lagi kita biarkan bagian hukum yang sensitif tidak tersentuh, terkatung-katung
secara tidak menentu. 3
Hukum waris berkaitan dengan masalah harta kekayaan yang merupakan harta
warisan, dan harta warisan merupakan masalah yang sangat peka, yang dalam
kehidupan sehari-hari sering menjadi persoalan dalam keluarga. Atas dasar itulah
diperlukan suatu pengaturan yang tegas dan memenuhi unsur kepastian hukum dalam
pembuatan surat keterangan ahli waris yang merupakan alat bukti sebagai ahli waris,
baik berhubungan dengan kewenangan pejabat yang membuatnya maupun tentang
prosedur pembuatannya.
Hukum kewarisan mengenai harta peninggalan seseorang baru berlaku apabila
pewaris telah meninggal dunia. Sebelum harta pusaka peninggalan dibagikan, selalu
diawali dengan penentuan siapa-siapa yang akan menjadi ahli waris dari harta
peninggalan seorang yang meninggal dunia itu. Untuk menentukan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris perlu dibuktikan dengan suatu keterangan waris. Dengan adanya
surat keterangan ahli waris, apabila timbul persoalan mengenai siapa ahli waris dari
seorang yang meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat menunjukkan keterangan
waris sebagai bukti, sehingga persoalan tersebut dapat diselesaikan. 4
Kenyataannya tidaklah mudah untuk menentukan hukum waris mana yang berlaku
untuk menyelesaikan suatu warisan tertentu, dan apabila sudah dapat ditentukan,
berapa bagian masing-masing ahli waris dari warisan itu. Apabila sebuah warisan tidak
dipersengketakan, dengan kata lain segenap ahli waris rukun-rukun saja dan semuanya
dengan hati terbuka berbagi warisan secara baik-baik, penuh pengertian dalam suasana
kekeluargaan, maka segala sesuatu dapat berjalan lancar, sehingga tidak menimbulkan
masalah.
Akan tetapi apabila ada salah seorang ahli waris saja yang membangkang atau
tidak mau melakukan pembagian warisan dengan kekeluargaan, terutama jika yang
bersangkutan ingin menguasai sebagian besar atau keseluruhan dari warisan, maka
3
Sunaryati Hartono, Bhineka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Hukum
Nasional, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 15.
4
Untuk menjadi seorang ahli waris, ia harus ada atau berada dalam keadaan hidup pada saat
warisan dibuka (vide Pasal 883 dan Pasal 946 B.W. serta Pasal 836 dan Pasal 899 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata), kecuali pihak-pihak yang mengharapkan sesuatu dalam rangka fidei commis. Menurut
Pasal 2 B.W., anak yang berada dalam kandungan seorang wanita dianggap telah lahir terkecuali dilahirkan
dalam keadaan mati. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan menyatakan bahwa setiap anak
yang lahir dalam keadaan hidup, mempunyai kepribadian, sehingga mempunyai kewenangan hukum
(rechtsbevoegheid), sesingkat apapun hidupnya, ia telah menikmati hak-hak keperdataannya dan setelah ia
meninggal dunia hak tersebut berpindah kepada orang lain. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marhalena
Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 1995. hlm. 3.
4
sengketa mudah timbul dengan segala akibat dan konsekwensinya. Jika perkara
tersebut sampai digelar di Pengadilan, baik pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri,
pastilah perkara warisan ini akan selesai dalam waktu yang lama dan membutuhkan
biaya yang besar.
Untuk menentukan tentang siapa yang berwenang menerbitkan surat keterangan
waris juga sangat sulit, hal itu bisa dilihat dari pendapat Fatchur Rahman yang
mengatakan bahwa :
“Tidaklah mudah untuk menentukan siapa yang berhak untuk menerbitkan
keterangan ahli waris tersebut, termasuk juga menetapkan hukum waris mana
yang berlaku untuk menyelesaikan suatu pewarisan, mengingat bahwa sampai
sekarang ini di Indonesia belum terdapat satu kesatuan hukum tentang warisan
yang dapat diterapkan untuk seluruh warga Negara Indonesia”. 5
Kesulitan tersebut disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memiliki pluralitas
budaya, dan dengan demikian juga norma-norma yang melingkupi kehidupannya
bersifat pluralistis juga, hal demikian akan menimbulkan berlakunya pluralisme dalam
bidang hukum waris. Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi
dimana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang
kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem
pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial.
Saat ini di Indonesia dalam pembuatan keterangan ahli waris masih bersifat
pluralisme, mengingat banyaknya pihak yang memiliki kewenangan dalam pembuatan
keterangan waris, karenanya perlu dilakukan pengharmonisasian sistem hukum. Tanpa
adanya harmonisasi sistem hukum, akan memunculkan tidak adanya jaminan kepastian
hukum yang dapat menimbulkan gangguan dalam kehidupan bermasyarakat,
ketidaktertiban dan rasa tidak dilindungi. Dalam perspektif demikian masalah kepastian
hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang hanya dapat terwujud melalui
harmonisasi sistem hukum. 6 Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian
peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem
hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian
5
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Al-Ma’arif, Bandung, 1975, hlm. 27.
6
Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Persfektif Perundang-undangan ; Lex
Specialis Suatu Masalah, JP Books, Surabaya, 2006, hlm. 100.
5
hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa
mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum. 7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti membatasi
permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran pluralisme pembuatan keterangan waris di Indonesia
dihubungkan dengan kepastian hukum?
2. Bagaimana seharusnya keterangan waris dibuat dalam rangka mencapai
kepastian hukum?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan gambaran tentang bagaimana pelaksanaan pembuatan keterangan
waris di Indonesia yang dilakukan oleh berbagai pihak jika dihubungkan dengan
salah satu tujuan hukum yaitu tercapainya kepastian hukum.
2. Dapat merumuskan bagaimana sebaiknya surat keterangan waris dibuat dalam
rangka memenuhi kebutuhan hokum masyarakat guna mewujudkan kepastian
hukum
II. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang menekankan pada
penggunaan data sekunder dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas atau prinsipprinsip hukum, baik dalam kaidah hukum positif yang berkaitan dengan pokok
permasalahan. Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka kajian dilakukan
terhadap norma-norma dan asas-asas yang terdapat dalam data sekunder, yang tersebar
dalam bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hal ini meliputi kajian terhadap peraturan
tentang hukum waris dan kewenangan membuat surat keterangan waris, literatur tentang
hukum waris dalam kaitannya dengan terwujudnya kepastian hukum.
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang
bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai kewenangan
pembuatan keterangan ahli waris di Indonesia yang sampai saat ini masih bersifatpluralisme dalam arti banyaknya pihak yang memiliki kewenangan untuk membuat surat7L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah yang disampaikanpada pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995.6keterangan waris dengan produk hukum yang berbeda-beda sehingga mempunyai akibathukum yang berbeda pula. Surat keterangan waris saat ini dapat dikeluarkan olehPengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam bentuk Penetapan Ahli Waris, Kelurahansetempat dalam bentuk Surat Keterangan Ahli Waris, atau Notaris berupa akta notaril. Datayang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan teori-teori, asas-asas, danhukum positif yang terkait dengan objek penelitian, kemudian dihubungkan dengatercapainya kepastian hukum.Tahapan penelitian yang dilakukan adalah dimulai dengan penelitian kepustakaanyaitu dengan mengumpulkan data sekunder berupa bahan hukum primer yang terdiri dariperaturan perundang-undangan tentang hukum waris. Bahan hukum sekunder yaitu bahanbahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalammenganalisis bahan hukum primer seperti karya ilmiah dan doktrin yang termuat dalambuku-buku dan tulisan ahli hukum. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikaninformasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus, surat kabar,majalah, dan browsing internet juga diperlukan untuk mendukung dan mempertajamanalisis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Penelitian diawali dengan studi dokumen, yaitu dengan melakukan penelaahanterhadap dokumen-dokumen yang terkait dengan hukum waris dan kewenangan membuatsurat keterangan ahli waris, guna memperoleh landasan teoritis dan informasi dalam bentukketentuan formal serta data melalui naskah resmi. Untuk melengkapi data hasil studidokumen, dilakukan wawancara dengan nara sumber yang terdiri dari Kepala Desa, Camat,Notaris, Hakim, dan masyarakat yang membuat surat keterangan ahli waris.Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan denganmetode analisis normatif kualitatif. Normatif karena penelitian bertitik tolak dari peraturanperaturan yang ada sebagai hukum positif, asas asas hukum, dan pengertian hukum.Kualitatif karena merupakan analisis data yang berasal dari informasi atau hasil wawancaradengan narasumber terkait, yang dideskripsikan dalam bertuk rangkaian kalimat.Penelitian dilakukan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas PadjadjaranBandung, perpustakaan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padajdjaran, PengadilanNegeri Bandung, Pengadilan Negeri Tangerang, satu Kantor Notaris di Bandung, dan satuKantor Notaris di Tangerang.7III. TINJAUAN PUSTAKAA. Peran Dan Fungsi Keterangan WarisTerdapat tiga peristiwa penting dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran,perkawinan dan kematian. Dari ketiga peristiwa tersebut, yang rentan terhadaptimbulnya masalah adalah peristiwa kematian8, karena tidak hanya berkaitan denganahli waris dan harta benda saja namun juga hubungan-hubungan hukum yangdilakukan semasa hidupnya, yang akan menimbulkan pertanyaan bagaimanakelanjutannya dan apa akibat hukumnya.Hubungan-hubungan hukum tersebut tidak lenyap seketika dengan meninggalnyaseseorang, karena umumnya yang ditinggalkannya bukan hanya manusia atau barangsaja melainkan dapat juga berupa kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengananggota masyarakat lainnya yang membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian,karena jika tidak dilakukan pemeliharaan dan penyelesaian akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam masyarakat tersebut.Kematian seseorang berkaitan dengan masalah hukum waris yang merupakanbagian dari hukum keluarga. Hukum waris berkaitan erat dengan masalah hartakekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris yang meninggal dunia, yang dinamakansebagai harta warisan. Dalam kehidupan bermasyarakat, mengenai harta warisanmerupakan hal yang peka dan seringkali menjadi persoalan dalam keluarga.Karenanya diperlukan pengaturan yang cermat dan memenuhi unsur kepastian hukumsebagai bukti tertulis yang menjelaskan kedudukan ahli waris dari orang yangmeninggal dan meninggalkan harta warisan (pewaris), yang dikenal sebagaiketerangan waris.Seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat akan kepastianhukum yang menghendaki setiap peristiwa (hukum) penting perlu untuk dicatatkan,maka peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan manusia seperti perkawinan perludicatatkan dengan bukti surat kawin, kematian dicatatkan dengan bukti suratkematian, dan pewarisan dalam hal ini adalah keterangan ahli waris juga dicatatkanguna menetapkan siapa saja yang berhak atas waris berkaitan dengan meninggalnyapewaris. Dengan adanya surat keterangan waris, jika terdapat persoalan mengenaisiapa yang berhak mewaris dari seorang yang meninggal dunia, maka ahli warisnyadapat menunjukkan surat keterangan waris sebagai bukti.8M.J.A. Van Mourik (disadur oleh F. Tengker), Studi Kasus Hukum Waris, Cetakan Pertama,Eresco, Bandung, 1993, hlm. 2.8Masalah pewarisan baru akan timbul apabila memenuhi tiga persyaratan sebagaiberikut:1. Adanya kematian seseorang sehingga muncul pewaris;2. Adanya harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris tersebut, yang disebut sebagaiharta peninggalan (harta warisan);3. Adanya ahli waris yang berhak atas harta peninggagaln pewaris.Pewaris adalah orang yang meninggal dan memberikan (mengalihkan)kekayaannya kepada orang yang masih bidup penyandang hak dan kewajiban, dalamhal ini ahli warisnya. Ahli waris harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia.Ahli waris adalah sekumpulan orang atau seorang atau kerabat-kerabat atau keluargayang ada hubungan keluarga dengan orang yang meninggal dunia dan berhakmewaris atau menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh pewaris. 9Harta warisan atau harta peninggalan adalah harta yang merupakanpeninggalan pewaris yang dapat dibagi secara individual kepada ahli waris, yaitu hartapeninggalan keseluruhannya sesudah dikurangi harta bawaan suami/isteri, dikurangilagi utang-utang pewaris dan wasiat.Hukum waris yang berlaku di Indonesia sekarang ini masih tergantung padahukum waris mana yang berlaku bagi pewaris yang meninggal dunia, sehinggaberaneka ragam. Keanekaragaman sistem hukum waris yang berlaku di Indonesiadikarenakan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agamadengan berbagai macam kebiasaan. Di samping itu juga kerana adanyapenggolongan penduduk yang menyebabkan perbedaan hukum yang berlaku bagisetiap golongan penduduk, dan keragaman hukum ini masih berlaku sampaisekarang.B. Hukum Waris dan Penggolongan Hukum di IndonesiaKalau kita membaca sejarah mengenai asal muasal bangsa Indonesia, maka kitaakan menemukan berbagai macam suku atau etnis di Indonesia, yang tersebardiseluruh Wilayah Republik Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesiatidak dihuni dan dibangun oleh salah satu etnis saja, tapi semua etnis yang ada diIndonesia telah memberikan kontribusi dalam perjalanan bangsa Indonesia sampaimenjadi seperti sekarang ini. Bahkan lebih jauh dari itu sebelum penjajah datang9Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta,1977, hlm. 7.9(Portugis dan Belanda serta Jepang) para penduduk yang ada pada waktu itu tidaktersegmentasi atau dipisah-pisahkan berdasarkan etnis atau golongan, mereka hidupsaling berdampingan dan tidak mempersoalkan dari mana mereka berasal.Pemisahan penduduk Indonesia berdasarkan etnis dan golongan muncul setelahpenjajahan kolonial Belanda melakukan penjajahannya kepada Indonesia, untukkepentingan politiknya telah mengeluarkan aturan yang membagi 3 (tiga) golonganpenduduk dan hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan tersebut.Sebetulnya pada saat itu Indonesia bukan suatu wilayah yang tidak mempunyaihukum, hukum adat-lah yang pada waktu itu berlaku. Hukum adat tersebut ada danyang mengatur prilaku masyarakat.Penggolongan penduduk Indonesia (Hindia Belanda pada waktu itu) berdasarkanpada ketentuan Pasal 163 IS (Indische Staatregeling) dan Pasal 109 RR (RegeringsReglement) dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk berdasarkanPasal 131 IS dan 75 RR yang berasal dari warisan Pemerintah Kolonial HindiaBelanda. Regerings Reglement adalah peraturan dasar yang dibuat bersama oleh rajadan parlemen untuk mengatur pemerintah daerah jajahan di Indonesia yangselanjutnya dianggap sebagai UUD pemerintah jajahan Belanda, sedangkan IndischeStaatregeling adalah pengganti dari Reglement Regering.10 Adanya penggolonganpenduduk dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk tersebutmerupakan politik hukum dari pemerintahan Kolonial Belanda untuk mengawasipenduduk yang berada di daerah jajahannnya dan dalam upaya pembodohan danpolitik memecah belah (devide et impera) untuk penduduk di wilayah Hindia Belandapada waktu itu.Pasal 131 IS dan 75 RR mengadakan 3 Golongan hukum yang berlaku untuk tiapgolongan penduduk sebagaimana tersebut diatas, dan ditegaskan sebagai berikut :1. Untuk Golongan bangsa Eropa harus dianut (dicontoh) perundang-undangan yangberlaku di negeri Belanda (asas konkordansi) ;2. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing jika ternyata bahwakebutuhan masyarakat mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturanuntuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupundengan perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturanbaru bersama ; untuk lainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku10Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty Yogyakarta, 1988, hlm. 48.10dikalangan mereka, dari aturan-aturan mana boleh diadakan penyimpangan jikadiminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka ;3. Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belumditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan orang Eropa,diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk orang Eropa,penundukkan boleh dilakukan baik seluruhnya maupun hanya mengenai suatuperbuatan tertentu.Sebelum hukum untuk orang Indonesia ditulis di dalam undang-undang, makabagi mereka akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, ialahhukum adat asli orang Indonesia. 11 Menurut Instruksi Presedium Kabinet Nomor31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966, yang ditujukan kepada Kantor CatatanSipil di seluruh Indonesia, telah ditetapkan penghapusan pembedaan golonganpenduduk di Indonesia (Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera). Sebagai dasarpertimbangan disebutkan bahwa demi tercapainya pembinaan kesatuan bangsaIndonesia yang bulat dan homogen, serta adanya perasaan persamaan nasib diantara sesama bangsa Indonesia, maka dirasa perlu segera menghapus praktekpraktek dan berdasarkan penggolongan tersebut.Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tersebut juga menyatakanbahwa penghapusan golongan-golongan penduduk tersebut tidak mengurangiberlakunya ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan, warisan dan ketentuanketentuan hukum perdata lainnya. Dengan kata lain, instruksi itu mengatakan bahwamengenai perkawinan, warisan dan lain-lain ketentuan-ketentuan hukum perdatabagi golongan-golongan penduduk yang bersangkutan masih tetap berlaku. 12 Antaralain telah dijadikan dasar hukum pembentukan aturan hukum yang berlaku setelahIndonesia merdeka untuk pembuatan alat bukti sebagai ahli waris atau seringdisebut keterangan ahli waris sebagaimana tercantum dalam :1. Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria DirektoratPendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969, NomorDpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan PembuktianKewarganegaraan ;11Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 11.12Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Citra AdityaBakti, Bandung, 1991, hlm. 44.112. Pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BadanPertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan PelaksanaanPeraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.Kedua aturan hukum tersebut menentukan, bahwa untuk golongan Eropa,Cina/Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam), selama inipembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris yangdibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat Keterangan, Golongan Timur Asing (BukanCina/Tionghoa), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkanSurat Keterangan Waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (BHP), Pribumi(Bumiputera), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan SuratKeterangan Waris yang dibuat dibawah tangan, bermeterai, oleh para ahli warissendiri dan diketahui atau dibenarkan oleh Lurah dan Camat sesuai dengan tempattinggal terakhir pewaris.Dalam simposium Hukum Waris Nasional yang dilaksanakan di Jakarta, padatanggal 10 Pebruari sampai dengan tanggal 12 Pebruari 1983 yang merupakansalah satu upaya kearah perlunya suatu pengaturan mengenai hukum waris nasionalsebetulnya sudah direkomendasikan perlu adanya penetapan mengenai lembagayang diberi kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan ahli waris, akan tetapirekomendasi tersebut sampai dengan saat ini tidak pernah ditindaklanjuti dalambentuk peraturan perundangan. 13Kenyataannya dalam praktek ketentuan pembuktian (surat bukti) sebagai ahliwaris dan institusi yang membuatnya harus berdasarkan etnis masih dipertahankansampai dengan sekarang. Tindakan seperti itu juga masih dipertahankan dandilakukan oleh Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Badan PertanahanNasional/Kantor Pertanahan di Seluruh Indonesia dan Perbankan Nasional sertainstansi-instansi lainnya baik instansi pemerintah maupun swasta.Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan hanya akan menerimaperalihan hak atas tanah yang berasal dari warisan kepada para ahli warisnya, jikabukti ahli warisnya berdasarkan etnis atau golongan penduduk. Di kalanganperbankan juga hanya akan mencairkan tabungan atau deposito karena pemiliknya13Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Persfektif Islam, Adat dan BW, RefikaAditama, Bandung 2007, hlm. 123.12meninggal dunia, jika para ahli waris membawa bukti ahli warisnya berdasarkanetnis yang bersangkutan.Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya tidakmembuat stratifikasi atau penggolongan penduduk berdasarkan etnis.Penggolongan penduduk berdasarkan etnis menurut Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan :”Diskriminasi adalahsetiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidaklangsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan,politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan,pelaksanan atau penggunaan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar dalamkehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”, adalah dilarang.Bangsa Indonesia saat ini komposisi warga negaranya tidak berdasarkan etnislagi, dan etnis yang ada di negara kita merupakan kekayaan budaya nasional, hal inidilihat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yangmenggantikan Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 tahun 1958 (selanjutyadisebut Undang-Undang Kewarganegaraan), dan kelahiran Undang-UndangKewarganegaraan tersebut menempatkan bangsa Indonesia untuk menilai danmemandang satu dengan yang lainnya pada kedudukan yang sama danbermartabat, sehingga etnis atau suku yang ada di Indonesia merupakan kekayaanbudaya nasional yang menjadi kebanggaan bersama milik bangsa, dan tidak perludipertentangkan lagi, tapi harus diolah dan dibina, serta dikembangkan untukkemajuan bersama.Demikian halnya dengan adanya pembedaan pembuatan bukti sebagai ahliwaris berdasarkan kepada golongan penduduk seperti yang sekarang berlaku diIndonesia sudah tidak dapat dipertahankan lagi, sementara itu sebagaimana sudahdipahami bahwa kosep kesamaan perlakuan dalam hukum (equal protection of law)merupakan piranti penting dalam teori negara hukum, 14 walaupun kenyataannyateori tersebut merupakan teori yang sangat ideal akan tetapi susah untukdilaksanakan secara konsekuen.14Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung,2009, hlm. 205.13Upaya untuk mengakhiri atau menjadikan pembuatan bukti waris yang uniformdiseluruh Indonesia, karena dalam kaitannya dengan masalah peralihan harta daripewaris kepada ahli waris, baik yang berupa benda bergerak maupun tidakbergerak, suatu instansi, baik instansi swasta maupun instansi pemerintah tentunyamenghendaki adanya suatu pegangan yang menjamin bahwa mereka menyerahkanatau membayar (dalam arti kata luas) kepada orang yang benar-benar berhakmenerimanya, oleh sebab itu pula seyogyanya instansi yang berhak dan berwenangmenerbitkan keterangan ahli waris merupakan pihak yang sudah dijaminkewenangannya dalam menerbitkan keterangan ahli waris tersebut, yang tujuanutamanya adalah memberikan kepastian hukum dan kepastian hak bagi para pihakyang terlibat didalamnya.C. Kepastian HukumDalam kehidupan bermasyarakat, hukum memiliki tujuan untuk mencapai ketertibansebagaimana dikatan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa yang menjadi tujuan utamahukum adalah ketertiban dan kemudian keadilan. Lebih lanjut dikatakan bahwa untukmencapai ketertiban dalam masyarakat diperlukan adanya kepastian hukum dalampergaulan antar umat manusia di masyarakat. 15 Tanpa kepastian hukum dan ketertibanmasyarakat, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat yang dimilikinya secaraoptimal di dalam masyarakat. Kepastian hukum menjadi tujuan hukum yang paling terukuruntuk menjembatani terwujudnya ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat.Menurut Gustav Radburch, sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, kepastian hukummerupakan salah satu nilai dasar dari hukum. 16 Kepastian hukum merupakan asas hukumyang bersifat umum yang melandasi adanya kaidah-kaidah hukum, yang utama bagikepastian hukum adalah adanya peraturan (kaidah) hukum itu sendiri. Kepastian hukummengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yangberlaku umum. Agar terciptanya suasana tertib dan tenteram di dalam masyarakat, makaperaturan-peraturan tersebut harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas.15Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, 2002,hlm 3-416Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 19.14IV. HASIL DAN PEMBAHASANA. Pluralisme Pembuatan Keterangan Waris di Indonesia dihubungkan denganKepastian HukumSurat keterangan ahli waris dapat diartikan sebagai suatu surat yang diterbitkanoleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang, atau dibuat sendiri olehsegenap ahli waris yang kemudian dibenarkan dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Lurahatau Camat, yang dijadikan alat bukti kuat tentang adanya suatu peralihan hak atassuatu harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris. 17 Keterangan waris dibuatdengan tujuan untuk membuktikan siapa saja yang merupakan ahli waris atas hartapeninggalan yang telah terbuka menurut hukum dan berapa porsi atau bagian masingmasing ahli waris terhadap harta peninggalan yang telah terbuka tersebutKeterangan ahli waris disebut juga keterangan hak waris yang merupakan suratbukti waris, yaitu surat yang membuktikan bahwa nama-nama yang tertulis di dalamnyaadalah ahli waris dari pewaris tertentu. 18 Di dalam keterangan ahli waris memuat tentangnama-nama para ahli waris dan nama pewaris (almarhum). Berdasarkan keterangan ahliwaris, para ahli waris secara bersama-sama dengan seluruh ahli waris dan tidak dapatdipisah-pisahkan, dapat melakukan suatu perbuatan hukum baik mengenai tindakanpengurusan maupun mengenai tindakan pemilikan.Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak terdapatperaturan yang mengatur mengenai keterangan ahli waris, sementara dalam praktiknyadi masyarakat keberadaan surat keterangan ahli waris sangat diperlukan. Untuk mengisikekosongan hukum tersebut, dapat digunakan peraturan perundang-undangan yangberasal dari Belanda dengan mengingat berdasarkan sejarah banyak hukum yangdiresepsi di Indonesia berasal dari Belanda. Karena dasar hukum yang melandasidibuatnya keterangan waris di Indonesia tidak terdapat, maka sudah selayaknya kalaumerujuk pada undang-undang Belanda tempat asal kita mewarisi surat keterangan waristersebut.Kebiasaan membuat keterangan ahli waris serta kepercayaan masyarakat padaakta keterangan ahli waris yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia memungkinkanditerimanya kebiasaan ini tanpa suatu peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan17I Gede Purwaka, Keterangan Hak Mewaris yang Dibuat Oleh Notaris Berdasarkan KetentuanKitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) , Program Spesialis Notariat danPertanahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 3.18J. Satrio, Hukum Waris, tentang Pemisahan Boedel, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986, hlm227.15khusus untuk Indonesia. Ketidakjelasan mengenai praktik pembuatan keterangan ahliwaris ini antara lain berkaitan dengan dasar hukum bagi kewenangan dalam pembuatanketerangan ahli waris dan mengenai bentuk akta yang digunakan dalam pembuatanketerangan ahli waris.Dalam praktiknya ahli waris tidak dapat secara langsung atau otomatis dapatmenguasai dan melakukan balik nama harta warisan yang menjadi haknya denganterbukanya warisan ( meninggalnya pewaris), malainkan untuk dapat melakukantindakan hukum terhadap apa yang telah menjadi haknya tersebut harus dilengkapidengan adanya keterangan ahli waris yang merupakan proses administratif dari barangwarisan yang diterima tersebut. 19Saat ini kewenangan untuk membuat/menerbitkan keterangan ahli waris masihbersifat pluralism, dalam arti dapat dibuat oleh berbagai pihak/instansi sesuai dengangolongan penduduk di Indonesia yang sampai saat ini secara yuridis formal masihdibedakan. Dalam hubungannya dengan permasalahan ini, terdapat beberapaketentuan tentang instansi/pihak yang berwenang membuat keterangan ahli waris yangdapat dijelaskan sebagai berikutSurat Edaran Dirjen Agraria (Direktorat Pendaftaran Tanah/Kadaster) DepartemenDalam Negeri No. Dpt/12/63/12/69 Tahun 1969, antara lain menyatakan bahwapenggolongan masyarakat yang bersumber dari peninggalan pemerintah kolonialBelanda dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan perlakuan hukum (mengenaiwaris) yang berbeda-beda, dan sampai saat ini belum ada keseragaman, yaitu:1. Penduduk asli berlaku hukum adat2. Nederlands onderdanen, berlaku hukum perdata barat3. Keturunan tionghoa sejak tahun 1919 berlaku hukum perdata barat4. Keturunan timur asing lainnya (Arab, Hindu, Pakistan, dll) berlaku hukum NegaraleluhurnyaUntuk keseragaman maka hendaknya surat keterangan waris dibuat denganberpokok pangkal pada penggolongan tersebut di atas, dengan rincian sebagai berikut:1. Golongan keturunan barat (Eropa) dibuatkan oleh Notaris2. Golongan penduduk asli, surat keterangan warisnya dibuat oleh para ahli warisdengan disaksikan oleh Lurah dan diketahui oleh Camat3. Golongan keturunan tionghoa dibuat oleh Notaris4. Golongan timur asing lainnya, dibuatkan oleh Balai Harta Peninggalan19op.cit. I Gede Purwaka, hlm. 516Di samping itu keterangan waris juga dapat dibuat melalui putusan pengadilan ataupenetapan pengadilan, hal ini tersirat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/KepalaBadan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 dalam Pasal 111 ayat (1) huruf cangka 4 yang menyatakan bahwa:“permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuanrumah susun diajukan oleh ahli waris atau kuasanya dengan melampirkan(antara lain) surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa: wasiat daripewaris, putusan pengadilan. Atau penetapan hakim”Akan tetapi berkenaan dengan keterangan waris yang berbentuk Penetapan Hakim,pada dasarnya baik Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dilarang untukmemberikan penetapan/fatwa waris. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran MahkamahAgung No. 26/TUADA-AG/III-UM/VII/1993.Dengan demikian, khusus untuk bidang kewarisan maka Pengadilan Negeri maupunPengadilan Agama hanya dapat/berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara dibidang kewarisan dalam konteks perkara yang bersifat sengketa (kontensius), dan tidakdalam konteks perkara yang bersifat permohonan penetapan (voluntair). Pengadilanhanya mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutussengketa/gugatan waris (bukan penetapan permohonan) serta menentukan siapa sajayang menjadi ahli waris dan menentukan pembagian waris serta melaksanakanpembagian waris tersebut.Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka terdapat pluralisme pembentukanketerangan ahli waris di Indonesia, yaitu ada yang dibuat oleh para pihak itu sendiridengan disaksikan oleh Lurah dan diketahui oleh Camat, dibuat oleh Notaris, berupawasiat dari pewaris, berupa putusan pengadilan, dan dibuat oleh Balai HartaPeninggalan.Dengan banyaknya pihak yang dapat membuat keterangan ahli waris, tidakmencerminkan tercapainya kepastian hukum melalui keterangan ahli waris yangdiharapkan dapat dijadikan bukti atas status ahli waris sebagai pihak yang berhak atasharta peninggalan serta segala hak dan kewajiban pewaris. Karena kekuatan hukumdari masing-masing bentuk keterangan waris tidak sama, yaitu ada yang hanyamerupakan akta di bawah tangan, dan juga ada yang merupakan akta otentik dengankekuatan bukti yang mengikat.17B. Pembuatan Keterangan Waris Dalam Rangka Mencapai Kepastian HukumSebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa sampai saat ini terdapat pluralismedalam hukum waris di Indonesia yang didasarkan pada golongan penduduk dan jugapengaruh dari hukum agama dan hukum adat. Demikian pula halnya dengan pembuatanketerangan ahli waris dengan terdapatnya berbagai pihak yang dapat membuatketerangan ahli waris, ada yang dibuat oleh para pihak itu sendiri dengan disaksikanoleh Lurah dan diketahui oleh Camat, atau dibuat oleh Notaris, atau berupa wasiat daripewaris, atau berupa putusan pengadilan, dan dapat juga dibuat oleh Balai HartaPeninggalan.Berlakunya nilai pluralisme dalam kehidupan bermasyarakat dapat menimbulkanpertentangan satu sama lain yang pada akhirnya dapat menimbulkan conflik of interest.Demikian pula halnya dengan pluralisme dalam hukum waris dan kewenanganpembuatan keterangan waris di Indonesia. Hukum sebagai norma yang mengaturkehidupan bermasyarakat juga sarat dengan nilai-nilai seperti keadilan, ketertiban,kepastian hukum, kedamaian, kebebasan, individualism, kolektivisme, dan lainsebagainya. Nilai-nilai tersebut dapat saja saling bertentangan satu sama lain, sehinggamenimbulkan konflik yang dapat saja berkembang menjadi sengketa.Seiring dengan pembinaan hukum nasional yang sesuai dengan dasar persatuanbangsa, landasan bagi hukum nasional adalah kesatuan dan unifikasi hukum bagiseluruh bangsa Indonesia. Hukum nasional adalah hukum yang berlaku untuk seluruhbangsa Indonesia tanpa kecuali, tanpa memandang suku bangsa yang beraneka ragam,agama yang berlainan, dan adat istiadat yang berbeda-beda. Politik hukum pemerintahseiring dengan persatuan dan kesatuan, menghendaki agar hokum atau peraturan yangberagam dan mengatur hal yang sama (pluralisme), secara berangsur-angsur diarahkanpada unifikasi hukum.Salah satu penyebab yang menyulitkan proses unifikasi hukum diantaranya adalahkeragaman sistem kemasyarakatan, tradisi hukum, pluralisme hukum yang berasal daripeninggalan sistem kolonial, perbedaan tingkat pendidikan dan kesejahteraan, sikaptradisional yang cenderung menolak perubahan, juga kebiasaan ketaatan pada tradisilokal. Namun demikian unifikasi dan kodifikasi hukum, khususnya di bidang hukum yangnetral perlu terus diupayakan demi tercapainya kepastian hukum.Indonesia sebagai Negara hukum tentunya menghendaki adanya univikasi dalamhukum waris, namun karena saat ini belum memungkinkan adanya unifikasi hukumwaris nasional maka hal-hal yang bersifat formalitas terkait dengan pewarisan seperti18keterangan hali waris, sudah seharusnya dibuat dalam formalitas yang sama untukseluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan apapun. Pluralisme dalam pembuatanketerangan ahli waris di Indonesia merupakan salah satu bentuk ketidakpastian hukumyang merupakan salah satu hal yang harus dihindari oleh Negara hukum.Keterangan ahli waris berupa surat wasiat yang dibuat oleh pewaris, keteranganyang dibuat oleh ahli waris yang diketahui oleh Lurah dan ditandatangani oleh Camatseringkali tidak diterima untuk digunakan dalam hubungan hukum lainnya karena tidakmempunyai kekuatan hokum. Dalam masalah perbankan yang dipersyaratkan adalahketerangan ahli waris yang berbentuk akta otentik sehingga lebih mempunyai kekuatanhukum mengikat sebagai alat bukti.Keterangan ahli waris yang dibuat oleh notaris, dibuat oleh Balai HartaPeninggalan, atau berupa putusan hakim, merupakan akta otentik yang mempunyaikekuatan hukum sebagai alat bukti. Dari itu semua yang lebih memberikan kekuatanhukum sebagai alat bukti adalah keterangan ahli waris yang dibuat oleh notaris, karenamerupakan akta notaris berbentuk akta otentik yang memiliki kekuatan bukti sempurna.V. SIMPULAN DAN REKOMENDASIA. Simpulan1. Pembuatan keterangan ahli waris di Indonesia masih bersifat pluralism. Hal inimenimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat tidak semua keterangan warisyang dibuat oleh berbagai pihak itu memiliki kekuatan hokum yang sama, adayang merupakan akta di bawah tangan biasa dan juga ada yang merupakan aktaotentik yang memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga tidak semua bentukketerangan ahli waris mempunyai kekuatan mengikat dan memberikan kepastianhukum bagi nama-nama ahli waris yang tercatum di dalamnya.2. Guna memberikan kepastian hukum dari keterangan ahli waris yang dibuat,sebaiknya keterangan ahli waris dibuat dalam bentuk akta otentik yangmempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para pihak, oleh Notaris atau berupaputusan hakim, dengan demikian akan lebih memberikan kepastian hukum.B. Rekomendasi1. Perlu dilakukan unifikasi hukum dalam hal pembuatan keterangan ahli waris agarlebih memberikan kepastian hukum192. Mengingat keterangan ahli waris merupakan dokumen yang penting dalammenentukan siapa saja yang menjadi ahli waris dari pewaris, karenanya harusdibuat dalam bentuk akta otentik sehingga mempunyai kekuatan hukum yangmengikatDAFTAR PUSTAKAA. BukuAli Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Rineka Cipta,Jakarta, 1977Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nusa Media, Bandung,2010Eman Suparman, Hukum Perselisihan, Refika Aditama, Bandung, 2005----------------, Hukum Waris Indonesia Dalam Persfektif Islam, Adat dan BW, RefikaAditama, Bandung 2007Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Al-Ma’arif, Bandung, 1975Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk AktaKeterangan Waris), Mandar Maju, Bandung, 2008Hari Purwadi, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Rajawali Pers,Jakarta, 2004Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty Yogyakarta, 1988I Gede Purwaka, Keterangan Hak Mewaris yang Dibuat Oleh Notaris BerdasarkanKetentuan Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) ,Program Spesialis Notariat dan Pertanahan Fakultas Hukum UniversitasIndonesia, Jakarta, 1999J. Satrio, Hukum Waris, tentang Pemisahan Boedel, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Persfektif Perundang-undangan ; LexSpecialis Suatu Masalah, JP Books, Surabaya, 2006M.J.A. Van Mourik (disadur oleh F. Tengker), Studi Kasus Hukum Waris, CetakanPertama, Eresco, Bandung, 1993Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan Nasional,Bandung, 2002Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung,2009Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2000Sunaryati Hartono, Bhineka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi PembangunanHukum Nasional, Alumni, Bandung, 2006-----------------, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Citra Aditya Bakti,Bandung, 199120Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1975Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, KompasGramedia, Jakarta 2011B. Sumber LainJohn Griffiths, “What is Legal Pluralism”, dalam Journal of Legal Pluralism an UnofficialLaw Number 24/1986, The Foundation for Journal of Legal Pluralism, 1986I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum, Makalahuntuk dipresentasikan dalam konfrensi tentang penguasaan tanah dankekayaan alam di Indonesia yang sedang berubah, Hotel Santika Jakarta, 11-13 Oktober 2004L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah yangdisampaikan pada pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995Soerojo Wongsowidjojo, Inventarisasi Masalah Hukum Waris Dalam Praktek, Makalahpada Simposium Hukum Waris Nasional, BPHN, 1989CV:Nama Efa Laela Fakhriah, lahir di Bandung pada 6 Juli 1961 dan sejak tahun 1986 bekerjasebagai dosen pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Gelar Sarjana Hukumdiperoleh pada tahun 1984 dari Universitas Padjadajaran, sedangkan Magister Hukumdiperoleh dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1996, dan Doktor diperoleh pada tahun2009 di Universitas Padjadjaran. Keahlian dalam bidang ilmu hukum adalah hukumpenyelesaian sengketa, dengan membina beberapa mata kuliah yang diantaranya HukumAcara Perdata, Teknik Negosiasi dan Mediasi, Teknik Pemecahan Kasus, serta PenemuanHukum. Mengikuti beberapa pelatihan, diantaranya tahun 2009 mengikuti pelatihanmediator bersertifikat di Universitas Tarumanagara kerja sama dengan PMN dan IICT.Sepanjang karier telah melakukan beberapa kegiatan ilmiah berupa penelitian, dan menulisbuku. Penelitian yang dilakukan antara lain pada tahun 2011 berjudul Tinjauan AtasPemanggilan Pihak Sacara Patut oleh Juru Sita Dalam Penyelesaian Sengketa PerdataDalam Rangka Penegakan Hukum di Pengadilan Negeri Bandung dan Bale Bandung, dantahun 2012 dengan judul Kajian terhadap Pluralisme Hukum Acara Perdata danPenerapannya pada Pengadilan Negeri di Indonesia Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum.Menulis buku secara mandiri pada tahun 2009 dengan judul Bukti Elektronik Dalam SistemPembuktian Perdata, dan beberapa buku yang ditulis bersama dengan penulis laindiantaranya pada tahun 2011 dengan tulisan berjudul Penemuan Hukum oleh Hakimmelalui Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Perdata dengan Menggunakan BuktiElektronik, tahun 2012 dengan judul tulisan Sistem Pembuktian Terbuka DalamPenyelesaian Sengketa Perdata Secara Litigasi, dan tahun 2013 dengan judul Small ClaimCourt dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan guna Menunjang TerwujudnyaSustainable Development .21
DALAM PEMBUATAN KETERANGAN WARIS DI INDONESIA
DIHUBUNGKAN DENGAN KEPASTIAN HUKUM.
Keterangan ahli waris di Indonesia dikeluarkan oleh banyak pihak sehingga terdapat
pluralism dalam pembuatan keterangan ahli waris di Indonesia. Hal ini dapat
berpengaruh pada tercapainya kepastian hukum, karena satu peristiwa hukum
didokumentasikan dalam berbagai macam produk hukum, dapat berbentuk akta di
bawah tangan atau berbentuk akta otentik yang keduanya mempunyai akibat hukum
yang berbeda sebagai alat bukti untuk membuktikan siapa saja yang merupakan ahli
waris dari pewaris. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan gambaran pluralisme
pembuatan keterangan waris di Indonesia dihubungkan dengan kepastian hukum, serta
untuk menentukan bagaimana seharusnya keterangan waris dibuat dalam rangka
mencapai kepastian hukum.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang menekankan pada
penggunaan data sekunder dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas atau prinsipprinsip hukum. Spesifikasi penelitian yang digunakan deskriptif analitis, dengan tahapan
penelitian terdiri dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan cara
melakukan wawancara untuk melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan. Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul
dilakukan dengan metode analisis normatif kualitatif.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa pluralisme pembuatan keterangan
ahli waris di Indonesia yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak baik berbentuk akta di
bawah tangan maupun akta otentik, yaitu oleh pewaris itu sendiri dalam bentuk surat
wasiat; dalam bentuk putusan pengadilan; dalam bentuk akta notaris, serta dikeluarkan
Balai Harta Peninggalan. Pluralisme ini mempengaruhi terhadap tercapainya kepastian
hukum di bidang keterangan ahli waris, karena tidak semua keterangan ahli waris yang
bermacam-macam itu mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat diterima oleh
pihak ke tiga untuk digunakan sebagai bukti. Untuk tercapainya kepastian hukum,
seyogyanya keterangan ahli waris berbentuk akta otentik sehingga mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat. Oleh karena itu ke depan disarankan keterangan ahli
waris itu di buat dalam bentuk akta otentik baik berupa putusan pengadilan atau akta
notaris.
Kata kunci: keterangan ahli waris
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan alat yang efektif untuk mencapai tujuan sosial karena aturan
hukum secara konsisten melekat pada petugas hukum dan masyarakat. 1 Persoalan
yang dihadapi oleh negara kita adalah bagaimana hukum dapat memenuhi tujuan sosial,
sehingga menjadi efektif, sementara itu yang terjadi dalam reformasi hukum dinegara
kita banyak peraturan perundang-undangan dibuat hanya berdasarkan “pesanan”,
sehingga menimbulkan ketidaksesuaian antara hukum dan masyarakat, padahal
pembangunan hukum tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat.
Manusia selaku anggota masyarakat mempunyai tempat dalam masyarakat
dengan disertai hak dan kewajiban terhadap anggota masyarakat lainnya, dan juga
terhadap barang-barang yang berada dalam masyarakat itu. Dengan kata lain ada
berbagai hubungan antara seorang manusia disatu pihak dan dunia luar sekitarnya di
lain pihak sedemikian rupa yaitu saling mempengaruhi satu sama lain berupa
kenikmatan atau beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak. Apabila seorang
manusia yang merupakan salah satu pihak dalam suatu hubungan hukum pada suatu
waktu meninggal dunia, maka dengan sendirinya timbul pertanyaan apakah yang akan
terjadi dengan hubungan-hubungan hukum yang dilakukan pada waktu manusia
tersebut masih hidup.
Hubungan-hubungan hukum itu tidak lenyap seketika begitu saja dengan
meninggalnya seseorang, karena pada umumnya yang ditinggalkan oleh yang
meninggal itu bukan hanya manusia atau barang saja, tapi juga kepentingankepentingan yang berhubungan dengan anggota masyarakat lain, dan kepentingankepentingan tersebut membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian, karena apabila
tidak ada pemeliharaan dan penyelesaian maka akan timbul ketidakseimbangan dalam
masyarakat.
Hukum waris sebagai bidang hukum yang sensitif dan erat kaitannya dengan
hukum keluarga adalah salah satu contoh klasik dalam masyarakat Indonesia yang
bersifat heterogen (ber-Bhineka Tunggal Ika), karenanya tidak mungkin untuk
dipaksakan agar terjadi unifikasi di bidang hokum waris. 2 Akan tetapi Sunaryati Hartono
berpendapat bahwa bagaimanapun akibat munculnya pluralisme, mau tidak mau tidak
1
Hari Purwadi, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta,
2004, hlm. 64.
2
Eman Suparman, Hukum Perselisihan, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 128.
3
dapat lagi kita biarkan bagian hukum yang sensitif tidak tersentuh, terkatung-katung
secara tidak menentu. 3
Hukum waris berkaitan dengan masalah harta kekayaan yang merupakan harta
warisan, dan harta warisan merupakan masalah yang sangat peka, yang dalam
kehidupan sehari-hari sering menjadi persoalan dalam keluarga. Atas dasar itulah
diperlukan suatu pengaturan yang tegas dan memenuhi unsur kepastian hukum dalam
pembuatan surat keterangan ahli waris yang merupakan alat bukti sebagai ahli waris,
baik berhubungan dengan kewenangan pejabat yang membuatnya maupun tentang
prosedur pembuatannya.
Hukum kewarisan mengenai harta peninggalan seseorang baru berlaku apabila
pewaris telah meninggal dunia. Sebelum harta pusaka peninggalan dibagikan, selalu
diawali dengan penentuan siapa-siapa yang akan menjadi ahli waris dari harta
peninggalan seorang yang meninggal dunia itu. Untuk menentukan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris perlu dibuktikan dengan suatu keterangan waris. Dengan adanya
surat keterangan ahli waris, apabila timbul persoalan mengenai siapa ahli waris dari
seorang yang meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat menunjukkan keterangan
waris sebagai bukti, sehingga persoalan tersebut dapat diselesaikan. 4
Kenyataannya tidaklah mudah untuk menentukan hukum waris mana yang berlaku
untuk menyelesaikan suatu warisan tertentu, dan apabila sudah dapat ditentukan,
berapa bagian masing-masing ahli waris dari warisan itu. Apabila sebuah warisan tidak
dipersengketakan, dengan kata lain segenap ahli waris rukun-rukun saja dan semuanya
dengan hati terbuka berbagi warisan secara baik-baik, penuh pengertian dalam suasana
kekeluargaan, maka segala sesuatu dapat berjalan lancar, sehingga tidak menimbulkan
masalah.
Akan tetapi apabila ada salah seorang ahli waris saja yang membangkang atau
tidak mau melakukan pembagian warisan dengan kekeluargaan, terutama jika yang
bersangkutan ingin menguasai sebagian besar atau keseluruhan dari warisan, maka
3
Sunaryati Hartono, Bhineka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Hukum
Nasional, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 15.
4
Untuk menjadi seorang ahli waris, ia harus ada atau berada dalam keadaan hidup pada saat
warisan dibuka (vide Pasal 883 dan Pasal 946 B.W. serta Pasal 836 dan Pasal 899 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata), kecuali pihak-pihak yang mengharapkan sesuatu dalam rangka fidei commis. Menurut
Pasal 2 B.W., anak yang berada dalam kandungan seorang wanita dianggap telah lahir terkecuali dilahirkan
dalam keadaan mati. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan menyatakan bahwa setiap anak
yang lahir dalam keadaan hidup, mempunyai kepribadian, sehingga mempunyai kewenangan hukum
(rechtsbevoegheid), sesingkat apapun hidupnya, ia telah menikmati hak-hak keperdataannya dan setelah ia
meninggal dunia hak tersebut berpindah kepada orang lain. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marhalena
Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kedua, Airlangga University Press, Surabaya, 1995. hlm. 3.
4
sengketa mudah timbul dengan segala akibat dan konsekwensinya. Jika perkara
tersebut sampai digelar di Pengadilan, baik pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri,
pastilah perkara warisan ini akan selesai dalam waktu yang lama dan membutuhkan
biaya yang besar.
Untuk menentukan tentang siapa yang berwenang menerbitkan surat keterangan
waris juga sangat sulit, hal itu bisa dilihat dari pendapat Fatchur Rahman yang
mengatakan bahwa :
“Tidaklah mudah untuk menentukan siapa yang berhak untuk menerbitkan
keterangan ahli waris tersebut, termasuk juga menetapkan hukum waris mana
yang berlaku untuk menyelesaikan suatu pewarisan, mengingat bahwa sampai
sekarang ini di Indonesia belum terdapat satu kesatuan hukum tentang warisan
yang dapat diterapkan untuk seluruh warga Negara Indonesia”. 5
Kesulitan tersebut disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memiliki pluralitas
budaya, dan dengan demikian juga norma-norma yang melingkupi kehidupannya
bersifat pluralistis juga, hal demikian akan menimbulkan berlakunya pluralisme dalam
bidang hukum waris. Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi
dimana dua atau lebih sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu bidang
kehidupan sosial yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua atau lebih sistem
pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan sosial.
Saat ini di Indonesia dalam pembuatan keterangan ahli waris masih bersifat
pluralisme, mengingat banyaknya pihak yang memiliki kewenangan dalam pembuatan
keterangan waris, karenanya perlu dilakukan pengharmonisasian sistem hukum. Tanpa
adanya harmonisasi sistem hukum, akan memunculkan tidak adanya jaminan kepastian
hukum yang dapat menimbulkan gangguan dalam kehidupan bermasyarakat,
ketidaktertiban dan rasa tidak dilindungi. Dalam perspektif demikian masalah kepastian
hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang hanya dapat terwujud melalui
harmonisasi sistem hukum. 6 Harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian
peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem
hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian
5
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Al-Ma’arif, Bandung, 1975, hlm. 27.
6
Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Persfektif Perundang-undangan ; Lex
Specialis Suatu Masalah, JP Books, Surabaya, 2006, hlm. 100.
5
hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa
mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum. 7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti membatasi
permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran pluralisme pembuatan keterangan waris di Indonesia
dihubungkan dengan kepastian hukum?
2. Bagaimana seharusnya keterangan waris dibuat dalam rangka mencapai
kepastian hukum?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan gambaran tentang bagaimana pelaksanaan pembuatan keterangan
waris di Indonesia yang dilakukan oleh berbagai pihak jika dihubungkan dengan
salah satu tujuan hukum yaitu tercapainya kepastian hukum.
2. Dapat merumuskan bagaimana sebaiknya surat keterangan waris dibuat dalam
rangka memenuhi kebutuhan hokum masyarakat guna mewujudkan kepastian
hukum
II. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang menekankan pada
penggunaan data sekunder dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas atau prinsipprinsip hukum, baik dalam kaidah hukum positif yang berkaitan dengan pokok
permasalahan. Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka kajian dilakukan
terhadap norma-norma dan asas-asas yang terdapat dalam data sekunder, yang tersebar
dalam bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hal ini meliputi kajian terhadap peraturan
tentang hukum waris dan kewenangan membuat surat keterangan waris, literatur tentang
hukum waris dalam kaitannya dengan terwujudnya kepastian hukum.
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang
bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai kewenangan
pembuatan keterangan ahli waris di Indonesia yang sampai saat ini masih bersifatpluralisme dalam arti banyaknya pihak yang memiliki kewenangan untuk membuat surat7L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah yang disampaikanpada pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995.6keterangan waris dengan produk hukum yang berbeda-beda sehingga mempunyai akibathukum yang berbeda pula. Surat keterangan waris saat ini dapat dikeluarkan olehPengadilan Negeri atau Pengadilan Agama dalam bentuk Penetapan Ahli Waris, Kelurahansetempat dalam bentuk Surat Keterangan Ahli Waris, atau Notaris berupa akta notaril. Datayang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan teori-teori, asas-asas, danhukum positif yang terkait dengan objek penelitian, kemudian dihubungkan dengatercapainya kepastian hukum.Tahapan penelitian yang dilakukan adalah dimulai dengan penelitian kepustakaanyaitu dengan mengumpulkan data sekunder berupa bahan hukum primer yang terdiri dariperaturan perundang-undangan tentang hukum waris. Bahan hukum sekunder yaitu bahanbahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalammenganalisis bahan hukum primer seperti karya ilmiah dan doktrin yang termuat dalambuku-buku dan tulisan ahli hukum. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikaninformasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus, surat kabar,majalah, dan browsing internet juga diperlukan untuk mendukung dan mempertajamanalisis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Penelitian diawali dengan studi dokumen, yaitu dengan melakukan penelaahanterhadap dokumen-dokumen yang terkait dengan hukum waris dan kewenangan membuatsurat keterangan ahli waris, guna memperoleh landasan teoritis dan informasi dalam bentukketentuan formal serta data melalui naskah resmi. Untuk melengkapi data hasil studidokumen, dilakukan wawancara dengan nara sumber yang terdiri dari Kepala Desa, Camat,Notaris, Hakim, dan masyarakat yang membuat surat keterangan ahli waris.Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan denganmetode analisis normatif kualitatif. Normatif karena penelitian bertitik tolak dari peraturanperaturan yang ada sebagai hukum positif, asas asas hukum, dan pengertian hukum.Kualitatif karena merupakan analisis data yang berasal dari informasi atau hasil wawancaradengan narasumber terkait, yang dideskripsikan dalam bertuk rangkaian kalimat.Penelitian dilakukan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas PadjadjaranBandung, perpustakaan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padajdjaran, PengadilanNegeri Bandung, Pengadilan Negeri Tangerang, satu Kantor Notaris di Bandung, dan satuKantor Notaris di Tangerang.7III. TINJAUAN PUSTAKAA. Peran Dan Fungsi Keterangan WarisTerdapat tiga peristiwa penting dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran,perkawinan dan kematian. Dari ketiga peristiwa tersebut, yang rentan terhadaptimbulnya masalah adalah peristiwa kematian8, karena tidak hanya berkaitan denganahli waris dan harta benda saja namun juga hubungan-hubungan hukum yangdilakukan semasa hidupnya, yang akan menimbulkan pertanyaan bagaimanakelanjutannya dan apa akibat hukumnya.Hubungan-hubungan hukum tersebut tidak lenyap seketika dengan meninggalnyaseseorang, karena umumnya yang ditinggalkannya bukan hanya manusia atau barangsaja melainkan dapat juga berupa kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengananggota masyarakat lainnya yang membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian,karena jika tidak dilakukan pemeliharaan dan penyelesaian akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam masyarakat tersebut.Kematian seseorang berkaitan dengan masalah hukum waris yang merupakanbagian dari hukum keluarga. Hukum waris berkaitan erat dengan masalah hartakekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris yang meninggal dunia, yang dinamakansebagai harta warisan. Dalam kehidupan bermasyarakat, mengenai harta warisanmerupakan hal yang peka dan seringkali menjadi persoalan dalam keluarga.Karenanya diperlukan pengaturan yang cermat dan memenuhi unsur kepastian hukumsebagai bukti tertulis yang menjelaskan kedudukan ahli waris dari orang yangmeninggal dan meninggalkan harta warisan (pewaris), yang dikenal sebagaiketerangan waris.Seiring dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat akan kepastianhukum yang menghendaki setiap peristiwa (hukum) penting perlu untuk dicatatkan,maka peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan manusia seperti perkawinan perludicatatkan dengan bukti surat kawin, kematian dicatatkan dengan bukti suratkematian, dan pewarisan dalam hal ini adalah keterangan ahli waris juga dicatatkanguna menetapkan siapa saja yang berhak atas waris berkaitan dengan meninggalnyapewaris. Dengan adanya surat keterangan waris, jika terdapat persoalan mengenaisiapa yang berhak mewaris dari seorang yang meninggal dunia, maka ahli warisnyadapat menunjukkan surat keterangan waris sebagai bukti.8M.J.A. Van Mourik (disadur oleh F. Tengker), Studi Kasus Hukum Waris, Cetakan Pertama,Eresco, Bandung, 1993, hlm. 2.8Masalah pewarisan baru akan timbul apabila memenuhi tiga persyaratan sebagaiberikut:1. Adanya kematian seseorang sehingga muncul pewaris;2. Adanya harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris tersebut, yang disebut sebagaiharta peninggalan (harta warisan);3. Adanya ahli waris yang berhak atas harta peninggagaln pewaris.Pewaris adalah orang yang meninggal dan memberikan (mengalihkan)kekayaannya kepada orang yang masih bidup penyandang hak dan kewajiban, dalamhal ini ahli warisnya. Ahli waris harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia.Ahli waris adalah sekumpulan orang atau seorang atau kerabat-kerabat atau keluargayang ada hubungan keluarga dengan orang yang meninggal dunia dan berhakmewaris atau menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh pewaris. 9Harta warisan atau harta peninggalan adalah harta yang merupakanpeninggalan pewaris yang dapat dibagi secara individual kepada ahli waris, yaitu hartapeninggalan keseluruhannya sesudah dikurangi harta bawaan suami/isteri, dikurangilagi utang-utang pewaris dan wasiat.Hukum waris yang berlaku di Indonesia sekarang ini masih tergantung padahukum waris mana yang berlaku bagi pewaris yang meninggal dunia, sehinggaberaneka ragam. Keanekaragaman sistem hukum waris yang berlaku di Indonesiadikarenakan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agamadengan berbagai macam kebiasaan. Di samping itu juga kerana adanyapenggolongan penduduk yang menyebabkan perbedaan hukum yang berlaku bagisetiap golongan penduduk, dan keragaman hukum ini masih berlaku sampaisekarang.B. Hukum Waris dan Penggolongan Hukum di IndonesiaKalau kita membaca sejarah mengenai asal muasal bangsa Indonesia, maka kitaakan menemukan berbagai macam suku atau etnis di Indonesia, yang tersebardiseluruh Wilayah Republik Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesiatidak dihuni dan dibangun oleh salah satu etnis saja, tapi semua etnis yang ada diIndonesia telah memberikan kontribusi dalam perjalanan bangsa Indonesia sampaimenjadi seperti sekarang ini. Bahkan lebih jauh dari itu sebelum penjajah datang9Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Rineka Cipta, Jakarta,1977, hlm. 7.9(Portugis dan Belanda serta Jepang) para penduduk yang ada pada waktu itu tidaktersegmentasi atau dipisah-pisahkan berdasarkan etnis atau golongan, mereka hidupsaling berdampingan dan tidak mempersoalkan dari mana mereka berasal.Pemisahan penduduk Indonesia berdasarkan etnis dan golongan muncul setelahpenjajahan kolonial Belanda melakukan penjajahannya kepada Indonesia, untukkepentingan politiknya telah mengeluarkan aturan yang membagi 3 (tiga) golonganpenduduk dan hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan tersebut.Sebetulnya pada saat itu Indonesia bukan suatu wilayah yang tidak mempunyaihukum, hukum adat-lah yang pada waktu itu berlaku. Hukum adat tersebut ada danyang mengatur prilaku masyarakat.Penggolongan penduduk Indonesia (Hindia Belanda pada waktu itu) berdasarkanpada ketentuan Pasal 163 IS (Indische Staatregeling) dan Pasal 109 RR (RegeringsReglement) dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk berdasarkanPasal 131 IS dan 75 RR yang berasal dari warisan Pemerintah Kolonial HindiaBelanda. Regerings Reglement adalah peraturan dasar yang dibuat bersama oleh rajadan parlemen untuk mengatur pemerintah daerah jajahan di Indonesia yangselanjutnya dianggap sebagai UUD pemerintah jajahan Belanda, sedangkan IndischeStaatregeling adalah pengganti dari Reglement Regering.10 Adanya penggolonganpenduduk dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk tersebutmerupakan politik hukum dari pemerintahan Kolonial Belanda untuk mengawasipenduduk yang berada di daerah jajahannnya dan dalam upaya pembodohan danpolitik memecah belah (devide et impera) untuk penduduk di wilayah Hindia Belandapada waktu itu.Pasal 131 IS dan 75 RR mengadakan 3 Golongan hukum yang berlaku untuk tiapgolongan penduduk sebagaimana tersebut diatas, dan ditegaskan sebagai berikut :1. Untuk Golongan bangsa Eropa harus dianut (dicontoh) perundang-undangan yangberlaku di negeri Belanda (asas konkordansi) ;2. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing jika ternyata bahwakebutuhan masyarakat mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturanuntuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupundengan perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturanbaru bersama ; untuk lainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku10Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty Yogyakarta, 1988, hlm. 48.10dikalangan mereka, dari aturan-aturan mana boleh diadakan penyimpangan jikadiminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka ;3. Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belumditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan orang Eropa,diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk orang Eropa,penundukkan boleh dilakukan baik seluruhnya maupun hanya mengenai suatuperbuatan tertentu.Sebelum hukum untuk orang Indonesia ditulis di dalam undang-undang, makabagi mereka akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, ialahhukum adat asli orang Indonesia. 11 Menurut Instruksi Presedium Kabinet Nomor31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966, yang ditujukan kepada Kantor CatatanSipil di seluruh Indonesia, telah ditetapkan penghapusan pembedaan golonganpenduduk di Indonesia (Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera). Sebagai dasarpertimbangan disebutkan bahwa demi tercapainya pembinaan kesatuan bangsaIndonesia yang bulat dan homogen, serta adanya perasaan persamaan nasib diantara sesama bangsa Indonesia, maka dirasa perlu segera menghapus praktekpraktek dan berdasarkan penggolongan tersebut.Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tersebut juga menyatakanbahwa penghapusan golongan-golongan penduduk tersebut tidak mengurangiberlakunya ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan, warisan dan ketentuanketentuan hukum perdata lainnya. Dengan kata lain, instruksi itu mengatakan bahwamengenai perkawinan, warisan dan lain-lain ketentuan-ketentuan hukum perdatabagi golongan-golongan penduduk yang bersangkutan masih tetap berlaku. 12 Antaralain telah dijadikan dasar hukum pembentukan aturan hukum yang berlaku setelahIndonesia merdeka untuk pembuatan alat bukti sebagai ahli waris atau seringdisebut keterangan ahli waris sebagaimana tercantum dalam :1. Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria DirektoratPendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969, NomorDpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan PembuktianKewarganegaraan ;11Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 11.12Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Citra AdityaBakti, Bandung, 1991, hlm. 44.112. Pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BadanPertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan PelaksanaanPeraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.Kedua aturan hukum tersebut menentukan, bahwa untuk golongan Eropa,Cina/Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam), selama inipembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris yangdibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat Keterangan, Golongan Timur Asing (BukanCina/Tionghoa), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkanSurat Keterangan Waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (BHP), Pribumi(Bumiputera), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan SuratKeterangan Waris yang dibuat dibawah tangan, bermeterai, oleh para ahli warissendiri dan diketahui atau dibenarkan oleh Lurah dan Camat sesuai dengan tempattinggal terakhir pewaris.Dalam simposium Hukum Waris Nasional yang dilaksanakan di Jakarta, padatanggal 10 Pebruari sampai dengan tanggal 12 Pebruari 1983 yang merupakansalah satu upaya kearah perlunya suatu pengaturan mengenai hukum waris nasionalsebetulnya sudah direkomendasikan perlu adanya penetapan mengenai lembagayang diberi kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan ahli waris, akan tetapirekomendasi tersebut sampai dengan saat ini tidak pernah ditindaklanjuti dalambentuk peraturan perundangan. 13Kenyataannya dalam praktek ketentuan pembuktian (surat bukti) sebagai ahliwaris dan institusi yang membuatnya harus berdasarkan etnis masih dipertahankansampai dengan sekarang. Tindakan seperti itu juga masih dipertahankan dandilakukan oleh Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Badan PertanahanNasional/Kantor Pertanahan di Seluruh Indonesia dan Perbankan Nasional sertainstansi-instansi lainnya baik instansi pemerintah maupun swasta.Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan hanya akan menerimaperalihan hak atas tanah yang berasal dari warisan kepada para ahli warisnya, jikabukti ahli warisnya berdasarkan etnis atau golongan penduduk. Di kalanganperbankan juga hanya akan mencairkan tabungan atau deposito karena pemiliknya13Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Persfektif Islam, Adat dan BW, RefikaAditama, Bandung 2007, hlm. 123.12meninggal dunia, jika para ahli waris membawa bukti ahli warisnya berdasarkanetnis yang bersangkutan.Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya tidakmembuat stratifikasi atau penggolongan penduduk berdasarkan etnis.Penggolongan penduduk berdasarkan etnis menurut Pasal 1 angka 3 UndangUndang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan :”Diskriminasi adalahsetiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidaklangsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan,politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan,pelaksanan atau penggunaan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar dalamkehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”, adalah dilarang.Bangsa Indonesia saat ini komposisi warga negaranya tidak berdasarkan etnislagi, dan etnis yang ada di negara kita merupakan kekayaan budaya nasional, hal inidilihat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yangmenggantikan Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 tahun 1958 (selanjutyadisebut Undang-Undang Kewarganegaraan), dan kelahiran Undang-UndangKewarganegaraan tersebut menempatkan bangsa Indonesia untuk menilai danmemandang satu dengan yang lainnya pada kedudukan yang sama danbermartabat, sehingga etnis atau suku yang ada di Indonesia merupakan kekayaanbudaya nasional yang menjadi kebanggaan bersama milik bangsa, dan tidak perludipertentangkan lagi, tapi harus diolah dan dibina, serta dikembangkan untukkemajuan bersama.Demikian halnya dengan adanya pembedaan pembuatan bukti sebagai ahliwaris berdasarkan kepada golongan penduduk seperti yang sekarang berlaku diIndonesia sudah tidak dapat dipertahankan lagi, sementara itu sebagaimana sudahdipahami bahwa kosep kesamaan perlakuan dalam hukum (equal protection of law)merupakan piranti penting dalam teori negara hukum, 14 walaupun kenyataannyateori tersebut merupakan teori yang sangat ideal akan tetapi susah untukdilaksanakan secara konsekuen.14Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung,2009, hlm. 205.13Upaya untuk mengakhiri atau menjadikan pembuatan bukti waris yang uniformdiseluruh Indonesia, karena dalam kaitannya dengan masalah peralihan harta daripewaris kepada ahli waris, baik yang berupa benda bergerak maupun tidakbergerak, suatu instansi, baik instansi swasta maupun instansi pemerintah tentunyamenghendaki adanya suatu pegangan yang menjamin bahwa mereka menyerahkanatau membayar (dalam arti kata luas) kepada orang yang benar-benar berhakmenerimanya, oleh sebab itu pula seyogyanya instansi yang berhak dan berwenangmenerbitkan keterangan ahli waris merupakan pihak yang sudah dijaminkewenangannya dalam menerbitkan keterangan ahli waris tersebut, yang tujuanutamanya adalah memberikan kepastian hukum dan kepastian hak bagi para pihakyang terlibat didalamnya.C. Kepastian HukumDalam kehidupan bermasyarakat, hukum memiliki tujuan untuk mencapai ketertibansebagaimana dikatan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa yang menjadi tujuan utamahukum adalah ketertiban dan kemudian keadilan. Lebih lanjut dikatakan bahwa untukmencapai ketertiban dalam masyarakat diperlukan adanya kepastian hukum dalampergaulan antar umat manusia di masyarakat. 15 Tanpa kepastian hukum dan ketertibanmasyarakat, manusia tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat yang dimilikinya secaraoptimal di dalam masyarakat. Kepastian hukum menjadi tujuan hukum yang paling terukuruntuk menjembatani terwujudnya ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat.Menurut Gustav Radburch, sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, kepastian hukummerupakan salah satu nilai dasar dari hukum. 16 Kepastian hukum merupakan asas hukumyang bersifat umum yang melandasi adanya kaidah-kaidah hukum, yang utama bagikepastian hukum adalah adanya peraturan (kaidah) hukum itu sendiri. Kepastian hukummengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yangberlaku umum. Agar terciptanya suasana tertib dan tenteram di dalam masyarakat, makaperaturan-peraturan tersebut harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas.15Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, 2002,hlm 3-416Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 19.14IV. HASIL DAN PEMBAHASANA. Pluralisme Pembuatan Keterangan Waris di Indonesia dihubungkan denganKepastian HukumSurat keterangan ahli waris dapat diartikan sebagai suatu surat yang diterbitkanoleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang, atau dibuat sendiri olehsegenap ahli waris yang kemudian dibenarkan dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Lurahatau Camat, yang dijadikan alat bukti kuat tentang adanya suatu peralihan hak atassuatu harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris. 17 Keterangan waris dibuatdengan tujuan untuk membuktikan siapa saja yang merupakan ahli waris atas hartapeninggalan yang telah terbuka menurut hukum dan berapa porsi atau bagian masingmasing ahli waris terhadap harta peninggalan yang telah terbuka tersebutKeterangan ahli waris disebut juga keterangan hak waris yang merupakan suratbukti waris, yaitu surat yang membuktikan bahwa nama-nama yang tertulis di dalamnyaadalah ahli waris dari pewaris tertentu. 18 Di dalam keterangan ahli waris memuat tentangnama-nama para ahli waris dan nama pewaris (almarhum). Berdasarkan keterangan ahliwaris, para ahli waris secara bersama-sama dengan seluruh ahli waris dan tidak dapatdipisah-pisahkan, dapat melakukan suatu perbuatan hukum baik mengenai tindakanpengurusan maupun mengenai tindakan pemilikan.Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak terdapatperaturan yang mengatur mengenai keterangan ahli waris, sementara dalam praktiknyadi masyarakat keberadaan surat keterangan ahli waris sangat diperlukan. Untuk mengisikekosongan hukum tersebut, dapat digunakan peraturan perundang-undangan yangberasal dari Belanda dengan mengingat berdasarkan sejarah banyak hukum yangdiresepsi di Indonesia berasal dari Belanda. Karena dasar hukum yang melandasidibuatnya keterangan waris di Indonesia tidak terdapat, maka sudah selayaknya kalaumerujuk pada undang-undang Belanda tempat asal kita mewarisi surat keterangan waristersebut.Kebiasaan membuat keterangan ahli waris serta kepercayaan masyarakat padaakta keterangan ahli waris yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia memungkinkanditerimanya kebiasaan ini tanpa suatu peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan17I Gede Purwaka, Keterangan Hak Mewaris yang Dibuat Oleh Notaris Berdasarkan KetentuanKitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) , Program Spesialis Notariat danPertanahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 3.18J. Satrio, Hukum Waris, tentang Pemisahan Boedel, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986, hlm227.15khusus untuk Indonesia. Ketidakjelasan mengenai praktik pembuatan keterangan ahliwaris ini antara lain berkaitan dengan dasar hukum bagi kewenangan dalam pembuatanketerangan ahli waris dan mengenai bentuk akta yang digunakan dalam pembuatanketerangan ahli waris.Dalam praktiknya ahli waris tidak dapat secara langsung atau otomatis dapatmenguasai dan melakukan balik nama harta warisan yang menjadi haknya denganterbukanya warisan ( meninggalnya pewaris), malainkan untuk dapat melakukantindakan hukum terhadap apa yang telah menjadi haknya tersebut harus dilengkapidengan adanya keterangan ahli waris yang merupakan proses administratif dari barangwarisan yang diterima tersebut. 19Saat ini kewenangan untuk membuat/menerbitkan keterangan ahli waris masihbersifat pluralism, dalam arti dapat dibuat oleh berbagai pihak/instansi sesuai dengangolongan penduduk di Indonesia yang sampai saat ini secara yuridis formal masihdibedakan. Dalam hubungannya dengan permasalahan ini, terdapat beberapaketentuan tentang instansi/pihak yang berwenang membuat keterangan ahli waris yangdapat dijelaskan sebagai berikutSurat Edaran Dirjen Agraria (Direktorat Pendaftaran Tanah/Kadaster) DepartemenDalam Negeri No. Dpt/12/63/12/69 Tahun 1969, antara lain menyatakan bahwapenggolongan masyarakat yang bersumber dari peninggalan pemerintah kolonialBelanda dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan perlakuan hukum (mengenaiwaris) yang berbeda-beda, dan sampai saat ini belum ada keseragaman, yaitu:1. Penduduk asli berlaku hukum adat2. Nederlands onderdanen, berlaku hukum perdata barat3. Keturunan tionghoa sejak tahun 1919 berlaku hukum perdata barat4. Keturunan timur asing lainnya (Arab, Hindu, Pakistan, dll) berlaku hukum NegaraleluhurnyaUntuk keseragaman maka hendaknya surat keterangan waris dibuat denganberpokok pangkal pada penggolongan tersebut di atas, dengan rincian sebagai berikut:1. Golongan keturunan barat (Eropa) dibuatkan oleh Notaris2. Golongan penduduk asli, surat keterangan warisnya dibuat oleh para ahli warisdengan disaksikan oleh Lurah dan diketahui oleh Camat3. Golongan keturunan tionghoa dibuat oleh Notaris4. Golongan timur asing lainnya, dibuatkan oleh Balai Harta Peninggalan19op.cit. I Gede Purwaka, hlm. 516Di samping itu keterangan waris juga dapat dibuat melalui putusan pengadilan ataupenetapan pengadilan, hal ini tersirat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/KepalaBadan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 dalam Pasal 111 ayat (1) huruf cangka 4 yang menyatakan bahwa:“permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuanrumah susun diajukan oleh ahli waris atau kuasanya dengan melampirkan(antara lain) surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa: wasiat daripewaris, putusan pengadilan. Atau penetapan hakim”Akan tetapi berkenaan dengan keterangan waris yang berbentuk Penetapan Hakim,pada dasarnya baik Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dilarang untukmemberikan penetapan/fatwa waris. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran MahkamahAgung No. 26/TUADA-AG/III-UM/VII/1993.Dengan demikian, khusus untuk bidang kewarisan maka Pengadilan Negeri maupunPengadilan Agama hanya dapat/berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara dibidang kewarisan dalam konteks perkara yang bersifat sengketa (kontensius), dan tidakdalam konteks perkara yang bersifat permohonan penetapan (voluntair). Pengadilanhanya mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutussengketa/gugatan waris (bukan penetapan permohonan) serta menentukan siapa sajayang menjadi ahli waris dan menentukan pembagian waris serta melaksanakanpembagian waris tersebut.Dari apa yang telah diuraikan di atas, maka terdapat pluralisme pembentukanketerangan ahli waris di Indonesia, yaitu ada yang dibuat oleh para pihak itu sendiridengan disaksikan oleh Lurah dan diketahui oleh Camat, dibuat oleh Notaris, berupawasiat dari pewaris, berupa putusan pengadilan, dan dibuat oleh Balai HartaPeninggalan.Dengan banyaknya pihak yang dapat membuat keterangan ahli waris, tidakmencerminkan tercapainya kepastian hukum melalui keterangan ahli waris yangdiharapkan dapat dijadikan bukti atas status ahli waris sebagai pihak yang berhak atasharta peninggalan serta segala hak dan kewajiban pewaris. Karena kekuatan hukumdari masing-masing bentuk keterangan waris tidak sama, yaitu ada yang hanyamerupakan akta di bawah tangan, dan juga ada yang merupakan akta otentik dengankekuatan bukti yang mengikat.17B. Pembuatan Keterangan Waris Dalam Rangka Mencapai Kepastian HukumSebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa sampai saat ini terdapat pluralismedalam hukum waris di Indonesia yang didasarkan pada golongan penduduk dan jugapengaruh dari hukum agama dan hukum adat. Demikian pula halnya dengan pembuatanketerangan ahli waris dengan terdapatnya berbagai pihak yang dapat membuatketerangan ahli waris, ada yang dibuat oleh para pihak itu sendiri dengan disaksikanoleh Lurah dan diketahui oleh Camat, atau dibuat oleh Notaris, atau berupa wasiat daripewaris, atau berupa putusan pengadilan, dan dapat juga dibuat oleh Balai HartaPeninggalan.Berlakunya nilai pluralisme dalam kehidupan bermasyarakat dapat menimbulkanpertentangan satu sama lain yang pada akhirnya dapat menimbulkan conflik of interest.Demikian pula halnya dengan pluralisme dalam hukum waris dan kewenanganpembuatan keterangan waris di Indonesia. Hukum sebagai norma yang mengaturkehidupan bermasyarakat juga sarat dengan nilai-nilai seperti keadilan, ketertiban,kepastian hukum, kedamaian, kebebasan, individualism, kolektivisme, dan lainsebagainya. Nilai-nilai tersebut dapat saja saling bertentangan satu sama lain, sehinggamenimbulkan konflik yang dapat saja berkembang menjadi sengketa.Seiring dengan pembinaan hukum nasional yang sesuai dengan dasar persatuanbangsa, landasan bagi hukum nasional adalah kesatuan dan unifikasi hukum bagiseluruh bangsa Indonesia. Hukum nasional adalah hukum yang berlaku untuk seluruhbangsa Indonesia tanpa kecuali, tanpa memandang suku bangsa yang beraneka ragam,agama yang berlainan, dan adat istiadat yang berbeda-beda. Politik hukum pemerintahseiring dengan persatuan dan kesatuan, menghendaki agar hokum atau peraturan yangberagam dan mengatur hal yang sama (pluralisme), secara berangsur-angsur diarahkanpada unifikasi hukum.Salah satu penyebab yang menyulitkan proses unifikasi hukum diantaranya adalahkeragaman sistem kemasyarakatan, tradisi hukum, pluralisme hukum yang berasal daripeninggalan sistem kolonial, perbedaan tingkat pendidikan dan kesejahteraan, sikaptradisional yang cenderung menolak perubahan, juga kebiasaan ketaatan pada tradisilokal. Namun demikian unifikasi dan kodifikasi hukum, khususnya di bidang hukum yangnetral perlu terus diupayakan demi tercapainya kepastian hukum.Indonesia sebagai Negara hukum tentunya menghendaki adanya univikasi dalamhukum waris, namun karena saat ini belum memungkinkan adanya unifikasi hukumwaris nasional maka hal-hal yang bersifat formalitas terkait dengan pewarisan seperti18keterangan hali waris, sudah seharusnya dibuat dalam formalitas yang sama untukseluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan apapun. Pluralisme dalam pembuatanketerangan ahli waris di Indonesia merupakan salah satu bentuk ketidakpastian hukumyang merupakan salah satu hal yang harus dihindari oleh Negara hukum.Keterangan ahli waris berupa surat wasiat yang dibuat oleh pewaris, keteranganyang dibuat oleh ahli waris yang diketahui oleh Lurah dan ditandatangani oleh Camatseringkali tidak diterima untuk digunakan dalam hubungan hukum lainnya karena tidakmempunyai kekuatan hokum. Dalam masalah perbankan yang dipersyaratkan adalahketerangan ahli waris yang berbentuk akta otentik sehingga lebih mempunyai kekuatanhukum mengikat sebagai alat bukti.Keterangan ahli waris yang dibuat oleh notaris, dibuat oleh Balai HartaPeninggalan, atau berupa putusan hakim, merupakan akta otentik yang mempunyaikekuatan hukum sebagai alat bukti. Dari itu semua yang lebih memberikan kekuatanhukum sebagai alat bukti adalah keterangan ahli waris yang dibuat oleh notaris, karenamerupakan akta notaris berbentuk akta otentik yang memiliki kekuatan bukti sempurna.V. SIMPULAN DAN REKOMENDASIA. Simpulan1. Pembuatan keterangan ahli waris di Indonesia masih bersifat pluralism. Hal inimenimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat tidak semua keterangan warisyang dibuat oleh berbagai pihak itu memiliki kekuatan hokum yang sama, adayang merupakan akta di bawah tangan biasa dan juga ada yang merupakan aktaotentik yang memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga tidak semua bentukketerangan ahli waris mempunyai kekuatan mengikat dan memberikan kepastianhukum bagi nama-nama ahli waris yang tercatum di dalamnya.2. Guna memberikan kepastian hukum dari keterangan ahli waris yang dibuat,sebaiknya keterangan ahli waris dibuat dalam bentuk akta otentik yangmempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para pihak, oleh Notaris atau berupaputusan hakim, dengan demikian akan lebih memberikan kepastian hukum.B. Rekomendasi1. Perlu dilakukan unifikasi hukum dalam hal pembuatan keterangan ahli waris agarlebih memberikan kepastian hukum192. Mengingat keterangan ahli waris merupakan dokumen yang penting dalammenentukan siapa saja yang menjadi ahli waris dari pewaris, karenanya harusdibuat dalam bentuk akta otentik sehingga mempunyai kekuatan hukum yangmengikatDAFTAR PUSTAKAA. BukuAli Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, Rineka Cipta,Jakarta, 1977Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nusa Media, Bandung,2010Eman Suparman, Hukum Perselisihan, Refika Aditama, Bandung, 2005----------------, Hukum Waris Indonesia Dalam Persfektif Islam, Adat dan BW, RefikaAditama, Bandung 2007Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Al-Ma’arif, Bandung, 1975Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris (Dalam Bentuk AktaKeterangan Waris), Mandar Maju, Bandung, 2008Hari Purwadi, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Rajawali Pers,Jakarta, 2004Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty Yogyakarta, 1988I Gede Purwaka, Keterangan Hak Mewaris yang Dibuat Oleh Notaris BerdasarkanKetentuan Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) ,Program Spesialis Notariat dan Pertanahan Fakultas Hukum UniversitasIndonesia, Jakarta, 1999J. Satrio, Hukum Waris, tentang Pemisahan Boedel, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1986Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Persfektif Perundang-undangan ; LexSpecialis Suatu Masalah, JP Books, Surabaya, 2006M.J.A. Van Mourik (disadur oleh F. Tengker), Studi Kasus Hukum Waris, CetakanPertama, Eresco, Bandung, 1993Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan Nasional,Bandung, 2002Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung,2009Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Adtya Bakti, Bandung, 2000Sunaryati Hartono, Bhineka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum Bagi PembangunanHukum Nasional, Alumni, Bandung, 2006-----------------, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Citra Aditya Bakti,Bandung, 199120Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1975Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, KompasGramedia, Jakarta 2011B. Sumber LainJohn Griffiths, “What is Legal Pluralism”, dalam Journal of Legal Pluralism an UnofficialLaw Number 24/1986, The Foundation for Journal of Legal Pluralism, 1986I Nyoman Nurjaya, Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum, Makalahuntuk dipresentasikan dalam konfrensi tentang penguasaan tanah dankekayaan alam di Indonesia yang sedang berubah, Hotel Santika Jakarta, 11-13 Oktober 2004L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah yangdisampaikan pada pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995Soerojo Wongsowidjojo, Inventarisasi Masalah Hukum Waris Dalam Praktek, Makalahpada Simposium Hukum Waris Nasional, BPHN, 1989CV:Nama Efa Laela Fakhriah, lahir di Bandung pada 6 Juli 1961 dan sejak tahun 1986 bekerjasebagai dosen pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Gelar Sarjana Hukumdiperoleh pada tahun 1984 dari Universitas Padjadajaran, sedangkan Magister Hukumdiperoleh dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1996, dan Doktor diperoleh pada tahun2009 di Universitas Padjadjaran. Keahlian dalam bidang ilmu hukum adalah hukumpenyelesaian sengketa, dengan membina beberapa mata kuliah yang diantaranya HukumAcara Perdata, Teknik Negosiasi dan Mediasi, Teknik Pemecahan Kasus, serta PenemuanHukum. Mengikuti beberapa pelatihan, diantaranya tahun 2009 mengikuti pelatihanmediator bersertifikat di Universitas Tarumanagara kerja sama dengan PMN dan IICT.Sepanjang karier telah melakukan beberapa kegiatan ilmiah berupa penelitian, dan menulisbuku. Penelitian yang dilakukan antara lain pada tahun 2011 berjudul Tinjauan AtasPemanggilan Pihak Sacara Patut oleh Juru Sita Dalam Penyelesaian Sengketa PerdataDalam Rangka Penegakan Hukum di Pengadilan Negeri Bandung dan Bale Bandung, dantahun 2012 dengan judul Kajian terhadap Pluralisme Hukum Acara Perdata danPenerapannya pada Pengadilan Negeri di Indonesia Dalam Mewujudkan Kepastian Hukum.Menulis buku secara mandiri pada tahun 2009 dengan judul Bukti Elektronik Dalam SistemPembuktian Perdata, dan beberapa buku yang ditulis bersama dengan penulis laindiantaranya pada tahun 2011 dengan tulisan berjudul Penemuan Hukum oleh Hakimmelalui Pembuktian dalam Penyelesaian Sengketa Perdata dengan Menggunakan BuktiElektronik, tahun 2012 dengan judul tulisan Sistem Pembuktian Terbuka DalamPenyelesaian Sengketa Perdata Secara Litigasi, dan tahun 2013 dengan judul Small ClaimCourt dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan guna Menunjang TerwujudnyaSustainable Development .21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar