Kamis, 05 Mei 2016

MERANTAU KE JAKARTA MENJADI KORBAN IBU KOTA | Melanjutkan Hidupku

MARANTO TU JAWA

MAHDIAN TAMIN RANGKUTI
Hari ini ayah mengantarku ke mandira, loket ALS. dua hari sebelumnya tiketku sudah diambil ayah karena aku ingin ke jakarta dengan tujuan merantau. meskipun ku katakan merantau niatku hanya ada dua datang ke ibu kota yaitu menunaikan impianku yang sejak lama, pertama taman mini indonesia indah dan kedua sholat di masjid istiqlal.

sejak tadi pagi pukul 08;00 hingga setengah jam berlalu aku dan ayah duduk di bangku loket menunggu penumpang lainnya yang sudah mengambil tiket kejakarta. lalu kerneknya menyuruh kami agar memilih kursi yang sudah di beli masing-masing, ayah mengangkat rangselku dan mengantarku ke pintu bus ayah tak naik lagi ke dalam karena bus harus berangkat. tempat ku tepat di pinggir jendela, kursi nomor 24. begitu mewahnya bus ini di banding bus lubuk raya antar panyabungan ke janjimanaon doleo. desainnya begitu rapi tiap jendela dipasang tirai, dan setiapkersi memiliki sarung bersulam motif bunga tapi masalahnya cuman satu, AC nya sudah rusak jadi aku harus menyibak tirai kaca bus tempat kepalaku bersandar.

mesin dan klakson bus berbunyi menandakan penumpang sudah naik semua perjalanan segera berangkat, roda  ALS pun berputar di aspal jalan lintas timur meninggalkan ayah yang masih berdiri disana, ku lambaikan tangan sambil pamitan menggerakkan bibir dengan ucapan
 "berangkat ma au ayah"
suara ayah masih kudengar berpesan "denggan-denggan hamu disadun, kirim salam tu alak abangmu" jemari kasar ayah masih kulihat melambaikan untuk kepergianku yang entah kapan pulang, lalu menurunkan lambaian itu di kelopak matanya, mengusap titisan air matanya yang pertama kali kusaksikan selama hidupku, ternyata ayah begitu besar mencintai anak-anaknya, walaupun aku pernah merasakan dibedakan dengan abang adikku yang lainnya. disini aku baru sadari, seorang ayah selalu menyembunyikan kasih sayangnya seperti mutiara didasar lautan, ayahku memang hebat, ayahku memang sang juara sedunia.

meskipun perpisahanku dengan ayah di loket sana tapi roda Als terus melajur takkan mundur kebelakang sebelum sampai, itu sudah prinsip. membawa kami penumpang rata-rata ingin mengadu nasib ke ibukota, dengan satu niat mengubah nasib keluarga, kamilah korbannya. kami harus siap. aku duduk dibangku yang sama dengan seorang bujang lapuk, karena kesedihanku hampir habis, ia baru berani bercerita-cerita setelah menyapaku di jakarta nanti bareng siapa, 

Tidak ada komentar: