MAHDIAN nama panggilanku. Lahir tahun 1989. Aku seorang pemimpi yang tak pernah mewujudkannya. Tidak istiqomah mendalami apa yang ingin menjadi cita-citaku. Sehingga sampai sekarang aku belum menjadi siapa-siapa. Apakah karena aku tidak faham arti cita-cita itu, ataukah dia sama dengan sebuah kesuksesan yang telah tergapai. Aku berpendapat kalau cita-cita itu sebuah tujuan hidup bersifat selamanya akan tetapi kesuksesan sekedar sebentar saja. misalnya sebuah cita-cita jadi PNS maka ia bertahan walau pensiun tetap menerima tunjangan meski tanpa bekerja. Sementara kesuksesan itu menghasilkan sebentar saja seperti panjat pinang 17an atau bersifat dikerjakan terus-menerus.
Bercerita tentang cita-cita ketika guru SD menanya apa
cita-citamu kalau sudah besar nanti. Lalu aku menjawab jadi Profesor
Doktorandus Insinyur Haji Mandian Tamin Rangkuti kemudian saat aku masuk
pesantren Al-Azhar. Buya menanyakan cita-citaku ingin menjadi apa, jawabanku ingin menjadi ulama,
terinspirasi kisah sech Abdul Qodir Al-Mandily. Buya lain bertanya apa
cita-citamu. Aku menjawab ingin jadi Da’i sejuta ummat. Demam dakwah menular
dari Zainuddin, MZ. Di kelas Aliyah kembali buya menyapa cita-cita. aku
menulisnya ingin jadi Murottal Qur’an sebab ingin seperti imam Al-Ghomidi dan
Masyarirasyid. Pada akhir kelas 6
teman-teman bertanya cita-citaku apa setelah pengabdian selesai. Lantas
kujawab, ingin ke jakarta berfoto dengan monas lalu sholat di masjid istiqlal
dan jadi artis. Alangkah lucunya negri cita-cita.
Mahdian Tamin Rangkuti : jambur padang matinggi |
Ruangan kelas penuh dikepung tawa memojokkanku gara-gara
kebahisan cita-cita. Padahal aku pernah menulis namaku di buku tulis H. Mahdian
Tamin Rangkuti, Lc. Itu kan mungkin sebuah cita-cita juga, sekolah ke luar negri.
Jujur saya tidak tau bagai mana cara terbang ke timur tengah. Pada akhirnya aku
bingung ingin menjadi apa. Terlalu banyak cita-cita yang ditawarkan oleh Allah.
Sifat serakahku ingin mengambil semuanya. Padahal kalau tidak salah imam gozali
pernah berkata: jadilah seperti anak sungai jangan seperti laut entah yang mana
lagi air tawar. Para pemikir mengatakan gapailah cita-citamu setinggi bintang
di angkasa, rendahkan hatimu sedalam mutiara di dasar lautan. Begitulah ku baca
di sampul buku tulis bergaris tali. Tapi aku tak permah faham bagai mana tips mewujudkannya.
Jujur sebenarnya sejak kecil cita-cita yang kutanam di
dalam dada ini adalah ingin menjadi seorang dokter. Sejak adikku Irhamuddin
efendi Rangkuti mengalami kebutaan pada matanya parmanen sejak ia berusia 4
tahun di tahun 1998 silam hingga sekarang. Tiada biaya operasi untuk
mengobatinya sampai-sapai Mantari Nurdin mengatakan kalau keluargaku tidak
mampu membayar biaya operasinya. Orangtuaku hampir putus asa sekeluargaku
terpuruk, belum lagi mendengar olok-olokan sebayanya semua harus kami tanggung
jawab membelanya hingga ia menerima kenyataan pahit yang dialaminya. Itu bukan
cita-cita walau bersifat selamanya tapi kesuksesan yang abadi sebab lepas dosa
mata di akhirat nanti dari maksiat dunia. Motivasiku ingin jadi dokter. Ingin
mengoperasi mata adik kesayangunku. Agar ia dapat melihat wajah umak dan
ayahku.
Apakah sebenarnya cita-cita ini sebuah angan-agan.
Perlukah ditulis atau sekedar mengalir begitu saja. soalnya sering apa yang
terlintas di benakku malah menjadi kenyataan. Lalu yang selalu ku promosikan
pada diriku ingin jadi dokter tak pernah ada tanda-tandanya. Aku saja tak
percaya bisa mewujudkannya. Sedangkan aku sekolahnya saja di pesantren Gratis
Ma’had Darul Azhar. Belanja sering tak datang. Yang penting lulus pesantren
sudah. Habis itu merantau cari duit sebanyak-banyaknya. Menjadi nazir masjid
pun jadilah. Kalau ada rezeki nanti sambil kuliah. Pada akhirnya aku gagal juga
kuliah di UMTS tahun 2010. Uang menghentikan cita-citaku jadi S.Pd.I.
Sangat melenceng kan. Mungkin saja ini karma tidak
menepati cita-cita. Sementara ingin jadi dokter malah masuk jurusan fakultas
Pendidikn Agama Islam. Lagian ini salah besar. Sudah tau tidak punya
penghasilan. Tidak bekerja. Orangtua pun tidak mampu. Malah ngotot mau jadi
orang besar. Kata salah satu keluargaku. Orangtuamu takkan mampu. Mau pake apa
nanti bayar uang kuliahmu, uang kost, belanja. Ia kalau kamu sambil bekerja.
Seharusnya disini aku mulai bangkit menunjukkan kalau aku kuat. Kalau aku bisa.
Kalau aku ingin meninggikan derajat orangtuaku. Kalau aku jadi orang sukses. Tapi
benar-benar lemah tak berdaya. Do’a saja tak cukup. Berusahapun butuh kesabaran
bertahun-tahun. Sampai umurku bertanya . kapan nikah?
Coba kawan anda membaca pisikologi perasaan saya, yang
terlintas di hati malah kenyataan. Saat SD aku sering melihat foto monas dan
masjid istiqlal di buku agenda di rumah nenekkku entah punya siapa yang pasti
buku itu edisi 80an, dalam hatiku berkata, Jakarta seperti ini yah?. Lalu 2012
aku benar-benar pergi kesana 1 tahun lamanya di jawa barat, bekasi, jati asih,
jati luhur jl. Wibawa mukti. Libur kerja menjahit kusempatkan jalan-jalan ke
Monas Jakarta lalu solat dzuhur sampai magrib di Masjid Istiqlal. Berjalan kaki
mengelilingi bundaran Hotel Indonesia. Memandangi patung kuda putih. Hampir
ditabrak kendaraan di Sarinah. Gara-gara tercengang melihat emas Monas tidak
mengira lampu merah berganti hijau. Ingat, kepergianku itu tanpa unsur sengaja merantau
kejakarta.
Sebelum kejakarta, umak ingin sekali aku pandai menjahit.
Agar punya keterampilan di rantau orang. Seandainya umak punya uang ia ingin
membayar guru les menjahit sampai pandai. Umak sangat yakin dengan menjahit aku
bisa hidup tanpa menopang pada orang lain. Dengan bisa menjahit, umak yakin
pasti menghasilkan uang. Dapat meneruskan kuliahku yang sempat berhenti. Kata
umak di kota mungkin banyak orang-orang ingin menjahitkan pakaiannya yang
robek-robek. Lumayan buat beli makanan sehari-hari di rantau orang. Dengan
harapan umak tersebut, di hati ini kubisikkan. Aku ingin jadi desainer.
Cita-cita umak,
terwujud juga selama aku di jawa barat. Sama sekali bukan deretan cita-citaku
malah menjadi sumber penghasilanku selama di jawa. Aku bekerja jadi penjahit
di Taylor Faridah. Ada seorang bernama
Abang faisal Sikumbang menawarkanku menjahit dengan gaji RP.30.000 seminggu
ditaggung makan dan tempat. Seseorang yang baik hati mau berbagi ilmunya
padaku. Mengajariku menjahit dari nol. Hingga aku pandai walau untukku saja.
beliau sangat sabar mengajariku. Hanya saja aku tidak menekuninya setelah
meninggalkan pekerjaan itu. Padahal kalau saya lanjutkan mungkin aku menjadi
seorang desainer terkenal. Punya butik sendiri. Membuka lowongan pekerjaan,
bermanfaat untuk banyak orang. Kalau saya hitung-hitung saat itu tembus
penghasilanku Rp 1.000.000 dalam seminggu hanya vermak saja. aku putuskan
berhenti. Lantaran beliau megatakan “hitung semua yag kamu makan disini”
lantaran aku menjeguk kakak ke bogor lahiran lalu terlambat pulang ke ruko.
Padahal belum jam kerja. memang ini buka
cita-citaku, melainkan bakat dadakan.
Di kantor pesantren Al-Azhar pada saat membayar SPP MTS
aku melihat daftar namaku di layar kaca komputer di ketikkan. Bangganya
melayang-layang ke arsy. Terbesit dalam hatiku ingin sekali belajar komputer
siapa tau nanti aku bisa menulis didepan monitor seperti guruku ini. Aku ingin
menjadi penulis. Pas kami kelas 2 Dibuka kelas les komputer Al-Azhar Cours
membayar Rp.5000 sekali pertemuan. Orangtuaku tidak mampu, syukur saja aku di
ajak Khoirul Rangkuti menemaninya. Akhirnya aku bisa mencuri ilmu komputer
walau sekedar On-On saja. ditambah lagi abang ismail punya komputer jadul. Aku disuruhnya
praktek menggambar komputer. Agar lebih
akrab dengan mose.
2010 aku menjaga konter Abdul Cellullar di pasar
Simataniari. Ada komputer unutk mengisi lagu-lagu HP. Memegang HP saja saya
takut koslet apalagi mengoperasikan komputer. Seumur-umur dipesantren sangat
diharamkan bagi kami pengang alat elektronik tanpa izin, begitu undang-undang
yang berlaku. Lama-kelamaan aku bisa juga dan penjaga konter itu bukan deretan
cita-citaku. Malah tahun 2016 aku bekerja di Warnet Pasidzone sadabuan.
Mengoperasikan komputer. Berteman akrab dengan kabel-kabel yang saya takuti.
Dan selanjutnya malah menjadi Admin pesantren Al-Azhar. Setiap hari di depan
komputer. Tetap tidak jadi penulis juga.
Ketika waktu
nyantri sejak 2003 sering melihat mobil pribadi lewat di depanku ada sticker
dibelakang bertuliskan The Off Family
Darul Mursyid. Kata orang pesantren itu sekolah anak-anak orang kaya.
Menurutku pantaslah banyak mobil pesantrennya. Gaji gurunya besar. Jadi setiap
guru punya mobil asal merek the of family darul mursyid itu mugkin gurunya. Muridnya
pintar-pinar, masuk kesana di seleksi. Aku sangat percaya soalnya ada alumni
Darul Mursyid Guru praktek bahasa arab di pesantrenku. Tidak pernah terlintas dibenakku
jadi santri atau berkunjung kesitu. Sebab di pesantren gratis ini saja aku tak
mampu. Entah kapan aku menulis kategori masuk PDM. Tahun 2013 aku mulai bekerja
di Pesantren Modren Unggulan terpadu Darul Mursyid. Dan ternyata benar yang
sekolah dipesantren ini anak-anak orang kaya. Peraih juara olimpiade.
Penasaranku selama ini akhirnya terjawab kalau sticer The Off family Darul
Mursyid itu mobil orangtua para santri
yang sekolah anaknya disini, bukan mobil guru.
Kalau saya kutip perkataan ARAI dalam buku novel sang
pemimpi laskar pelangi karya Andrea Hirata “bermimpilah sebab mimpi-mimpimu itu
di peluk tuhan” kalau ini nyaris pas sekali dalam realita kehidupanku sebab
sering terjadi mimpiku menjadi nyata. Bolehkah aku bertanya lagi. Apakah mimpi
dan cita-cita itu sama atau beda ?
Coba kawan berikan jawaban lewat cerita cita-citaku tadi
saat kelas 6 Al-Azhar. Ingin ke jakarta melihat monas dan solat dimasjid
Istiqlal lalu jadi Artis. Saat aku masih santri sangat suka mendengar radio.
Dulu gelombang luar negeri wara-wiri mengalahkan RRI. Samapi radio lokal pun
ikut bersaing. Paling saya sukai adalah warta berita. Karena di rumahku tidak
ada TV. Kemudian lagu-lagu P.Ramlee sangat digemari ayah. Sampai zaman radio
saat itu menjadi media paling dinikmati masyarakat. Penyiarnyapun berlomba-lomba
kreatif dan unik saat mengudara. Nenekku
dan irham senang mendengar Radio Al-dino Panyabungan ada juga gelombang radio
pesantren baharuddin. Kami sekeluarga pun ikut fans jadi pendengar budiman. Hampir hafal nama-nama
penyiar saat itu. Dan program perjam nya.
Disitulah aku sangat ingin sekali jadi penyiar radio.
Penasaran seperti apa radio itu. Hingga aku belajar bicara cepat-cepat. Sering
membaca buku dan koran-koran bekas bungkus ikan asin. Jika ada berita senang
mendengarnya. Baik di TV maupun HP. Bahkan saat menjaga warnet dulu paling
sering saya tonton adalah berita. Aku mengikuti berita kasus kopi Sianida .
Hingga kasus penyirama air keras ke Novel Baswedan. Suka menonton ILC belajar
menadi presenter ala karni ilyas. Bahkan novel karni Ilyas ada di rak buku saya.
Menyimak gaya bahasa cara baca berita kebakaran. Sangkin inginnya jadi
presenter pembaca berita. Fansku mungkin teman-teman tau selain dari karni
ilyas, ada Najwa Sihab, Andiy Noya, Annisa, Windy, Fadil dan fadlan,
sampai-sampai terseret juga nama Dedi Corbuzer dan Feni Rose.
Ketika ada perayaan hari-hari besar islam di kampungku
aku sering menjadi host acara Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj dan
penyambutan bulan suci Ramadhan. Saat di pesantren juga aku sering protokol
tablig akbar malam minggu. Hingga tiap ada Renui Al-Azhar aku selalu jadi
pembawa acaranya. Maupun penammatan alumni. Pernah jadi host di Aula darul
mursyid ketika syukuran gelar Doktor Syahbuddin Ritonga, DBA. juga beberapa kali
pemandu acara walimatul urs dibeberapa kampung. Begitulah rezeki artis
kampungan.
Akhir tahun 2017 aku mencoba keberuntungan melamar kerja
Broadcasting di PT. Radio Buana Madina Prima Fm menjadi penyiar radio gelombang
95.1 Mhz. Alhamdulillah berselang tiga hari dari malam Minggu hingga pagi rabu
aku mulai training hari pertama mengudara di 95.1 Madina Prima FM “sahabat setia anda”. Dipancar luaskan dari JL. Jedral Besar Abdul
Haris Nasution. Kelurahan Kayu Jati, Panyabungan. Mandailing Natal.
Kalau jadi penyiar tentu bukan sekedar pembaca berita.
Segala acara meski dipandu. Program acara di Prima Fm tentu saya bawakan Mulai dari DPR (Dendang Prima Reques), MPR
(Malasya Pop Reques) Primantara (Prima Nusantara), Kabar Komplit, Prima
Karaoke, Prima Love To You (ajang curhat), gosip, Tips, news update, sampai ada Abang Mansur (Ayo
Bangun Makan Sahur). Wajib saya ikuti skenarionya. Inikah yang dinamakan artis.
Kira-kira jawaban pertanyaanku diatas, apakah cita-citaku sudah tergapai jadi
artis.
Kalau saya ingat-ingat, paling sering saya lakoni adalah
mengajar. Berarti saya menjadi seorang guru. Padahal guru itu termasuk
cita-cita kan?. Namun aku tidak pernah sama sekali bercita-cita jadi guru,
sebab dulu pernah guruku bilang tidak enak jadi guru, sakit, makan hati. Malah
hampir semua kisah hidupku profesi mengajar.
Pada saat masih santri kelas 3 Al-azhar saya sudah mulai
mengajar anak-anak mengaji malam, mengajar iqro. Siang harinya juga di Madrasah
Darul Qur’an desa Huraba, kecamatan siabu, Mandailing Natal (2003-2008).
Pengabdian persyaratan lulus Al-Azhar mengajar selama 3 tahun di desa
Simataniari Kecamatan Angkola Barat, Tapanuli selatan. Aktif mulai mengaji
magrib, pagi TK Anak Bangsa , Pesantren Al-Azhar Sangkunur, siang Madrasah Roudotul
Ulum (2010-2012). Kemudian TK Hj. Mardiah, Pesantren Darul Mursyid Sidapdap
Simanosor, Saipar Dolok Hole, Tapsel (2013-2015). Pesantren Darul Azhar, Rumah
Pengajian Asamah, Desa Jambur Padang Matinggi,
Kecamatan Panyabungan Utara, Madina (2016-2018). Hingga sekarang saya
sedang mengajar di MDTA Babul Ilmi dan SDN 355 Batahan IV, Kecamatan Batahan,
Kabupaten Mandailing Natal.
Makanya saya bingung, mana cita-citaku. Sebagian orang
menggapai cita-cita dengan membuat peta tujuannya. Biasanya dicoret-coret
dinding untuk motivasi targetnya. Lalu jika tidak tergapai kebanyakan mereka
putuskan saja jadi orang gila. Lebih indah dan mudah. Garansi seumur hidup.
Tanpa ribet.
Perjalanan hidupku ini sudah seperti air laut menampung
segala air. Itulah ibarat cita-citaku. Maka tidak mengenal mana sungai Batang
Gadis, sungai batang Angkola, dan sungai lainnya. Pada akhirnya asin tak
tertelan. Semakin diminum semakin haus. Rakus mengembat segala profesi. Pada
akhirnya tidak memiliki titel sebai seorang yang telah sukses meraih cita-cita.
Coba seandainya aku seperti anak sungai. Dari rura hingga ke sungai sampai
kelaut. Tentu punya arah dan tujuan yang pasti. Walau melewati semak belukar,
pegunungan tinggi, terhujam di atas batu, dihempas kerikil tetap sabar mengalir
terus, walau bendungan menghambat ia tetap istiqomah berusaha menggapai tujuan.
Demi menjadi sumber kehidupan. Ia yakin jika ingin menggapai sesuatu kesuksesan
tentu berusaha, sungguh kapal layar takkan
berlayar di tanah tandus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar