Jumat, 18 September 2020

CITA-CITA YANG TAK PERNAH KU IMPIKAN


MAHDIAN nama panggilanku. Lahir tahun 1989. Aku seorang pemimpi yang tak pernah mewujudkannya. Tidak istiqomah mendalami apa yang ingin menjadi cita-citaku. Sehingga sampai sekarang aku belum menjadi siapa-siapa. Apakah karena aku tidak faham arti cita-cita itu, ataukah dia sama dengan sebuah kesuksesan yang telah tergapai. Aku berpendapat kalau cita-cita itu sebuah tujuan hidup bersifat selamanya akan tetapi kesuksesan sekedar sebentar saja. misalnya sebuah cita-cita jadi PNS maka ia bertahan walau pensiun tetap menerima tunjangan meski tanpa bekerja. Sementara kesuksesan itu menghasilkan sebentar saja seperti panjat pinang 17an atau bersifat dikerjakan terus-menerus.

Bercerita tentang cita-cita ketika guru SD menanya apa cita-citamu kalau sudah besar nanti. Lalu aku menjawab jadi Profesor Doktorandus Insinyur Haji Mandian Tamin Rangkuti kemudian saat aku masuk pesantren Al-Azhar. Buya menanyakan cita-citaku ingin menjadi  apa, jawabanku ingin menjadi ulama, terinspirasi kisah sech Abdul Qodir Al-Mandily. Buya lain bertanya apa cita-citamu. Aku menjawab ingin jadi Da’i sejuta ummat. Demam dakwah menular dari Zainuddin, MZ. Di kelas Aliyah kembali buya menyapa cita-cita. aku menulisnya ingin jadi Murottal Qur’an sebab ingin seperti imam Al-Ghomidi dan Masyarirasyid. Pada akhir kelas 6  teman-teman bertanya cita-citaku apa setelah pengabdian selesai. Lantas kujawab, ingin ke jakarta berfoto dengan monas lalu sholat di masjid istiqlal dan jadi artis. Alangkah lucunya negri cita-cita.

Mahdian Tamin Rangkuti : jambur padang matinggi

Ruangan kelas penuh dikepung tawa memojokkanku gara-gara kebahisan cita-cita. Padahal aku pernah menulis namaku di buku tulis H. Mahdian Tamin Rangkuti, Lc. Itu kan mungkin sebuah cita-cita juga, sekolah ke luar negri. Jujur saya tidak tau bagai mana cara terbang ke timur tengah. Pada akhirnya aku bingung ingin menjadi apa. Terlalu banyak cita-cita yang ditawarkan oleh Allah. Sifat serakahku ingin mengambil semuanya. Padahal kalau tidak salah imam gozali pernah berkata: jadilah seperti anak sungai jangan seperti laut entah yang mana lagi air tawar. Para pemikir mengatakan gapailah cita-citamu setinggi bintang di angkasa, rendahkan hatimu sedalam mutiara di dasar lautan. Begitulah ku baca di sampul buku tulis bergaris tali. Tapi aku tak permah faham bagai mana tips mewujudkannya.

Jujur sebenarnya sejak kecil cita-cita yang kutanam di dalam dada ini adalah ingin menjadi seorang dokter. Sejak adikku Irhamuddin efendi Rangkuti mengalami kebutaan pada matanya parmanen sejak ia berusia 4 tahun di tahun 1998 silam hingga sekarang. Tiada biaya operasi untuk mengobatinya sampai-sapai Mantari Nurdin mengatakan kalau keluargaku tidak mampu membayar biaya operasinya. Orangtuaku hampir putus asa sekeluargaku terpuruk, belum lagi mendengar olok-olokan sebayanya semua harus kami tanggung jawab membelanya hingga ia menerima kenyataan pahit yang dialaminya. Itu bukan cita-cita walau bersifat selamanya tapi kesuksesan yang abadi sebab lepas dosa mata di akhirat nanti dari maksiat dunia. Motivasiku ingin jadi dokter. Ingin mengoperasi mata adik kesayangunku. Agar ia dapat melihat wajah umak dan ayahku.

Apakah sebenarnya cita-cita ini sebuah angan-agan. Perlukah ditulis atau sekedar mengalir begitu saja. soalnya sering apa yang terlintas di benakku malah menjadi kenyataan. Lalu yang selalu ku promosikan pada diriku ingin jadi dokter tak pernah ada tanda-tandanya. Aku saja tak percaya bisa mewujudkannya. Sedangkan aku sekolahnya saja di pesantren Gratis Ma’had Darul Azhar. Belanja sering tak datang. Yang penting lulus pesantren sudah. Habis itu merantau cari duit sebanyak-banyaknya. Menjadi nazir masjid pun jadilah. Kalau ada rezeki nanti sambil kuliah. Pada akhirnya aku gagal juga kuliah di UMTS tahun 2010. Uang menghentikan cita-citaku jadi S.Pd.I.

Sangat melenceng kan. Mungkin saja ini karma tidak menepati cita-cita. Sementara ingin jadi dokter malah masuk jurusan fakultas Pendidikn Agama Islam. Lagian ini salah besar. Sudah tau tidak punya penghasilan. Tidak bekerja. Orangtua pun tidak mampu. Malah ngotot mau jadi orang besar. Kata salah satu keluargaku. Orangtuamu takkan mampu. Mau pake apa nanti bayar uang kuliahmu, uang kost, belanja. Ia kalau kamu sambil bekerja. Seharusnya disini aku mulai bangkit menunjukkan kalau aku kuat. Kalau aku bisa. Kalau aku ingin meninggikan derajat orangtuaku. Kalau aku jadi orang sukses. Tapi benar-benar lemah tak berdaya. Do’a saja tak cukup. Berusahapun butuh kesabaran bertahun-tahun. Sampai umurku bertanya . kapan nikah?

Coba kawan anda membaca pisikologi perasaan saya, yang terlintas di hati malah kenyataan. Saat SD aku sering melihat foto monas dan masjid istiqlal di buku agenda di rumah nenekkku entah punya siapa yang pasti buku itu edisi 80an, dalam hatiku berkata, Jakarta seperti ini yah?. Lalu 2012 aku benar-benar pergi kesana 1 tahun lamanya di jawa barat, bekasi, jati asih, jati luhur jl. Wibawa mukti. Libur kerja menjahit kusempatkan jalan-jalan ke Monas Jakarta lalu solat dzuhur sampai magrib di Masjid Istiqlal. Berjalan kaki mengelilingi bundaran Hotel Indonesia. Memandangi patung kuda putih. Hampir ditabrak kendaraan di Sarinah. Gara-gara tercengang melihat emas Monas tidak mengira lampu merah berganti hijau. Ingat,  kepergianku itu tanpa unsur sengaja merantau kejakarta.

Sebelum kejakarta, umak ingin sekali aku pandai menjahit. Agar punya keterampilan di rantau orang. Seandainya umak punya uang ia ingin membayar guru les menjahit sampai pandai. Umak sangat yakin dengan menjahit aku bisa hidup tanpa menopang pada orang lain. Dengan bisa menjahit, umak yakin pasti menghasilkan uang. Dapat meneruskan kuliahku yang sempat berhenti. Kata umak di kota mungkin banyak orang-orang ingin menjahitkan pakaiannya yang robek-robek. Lumayan buat beli makanan sehari-hari di rantau orang. Dengan harapan umak tersebut, di hati ini kubisikkan. Aku ingin jadi desainer.

 Cita-cita umak, terwujud juga selama aku di jawa barat. Sama sekali bukan deretan cita-citaku malah menjadi sumber penghasilanku selama di jawa. Aku bekerja jadi penjahit di  Taylor Faridah. Ada seorang bernama Abang faisal Sikumbang menawarkanku menjahit dengan gaji RP.30.000 seminggu ditaggung makan dan tempat. Seseorang yang baik hati mau berbagi ilmunya padaku. Mengajariku menjahit dari nol. Hingga aku pandai walau untukku saja. beliau sangat sabar mengajariku. Hanya saja aku tidak menekuninya setelah meninggalkan pekerjaan itu. Padahal kalau saya lanjutkan mungkin aku menjadi seorang desainer terkenal. Punya butik sendiri. Membuka lowongan pekerjaan, bermanfaat untuk banyak orang. Kalau saya hitung-hitung saat itu tembus penghasilanku Rp 1.000.000 dalam seminggu hanya vermak saja. aku putuskan berhenti. Lantaran beliau megatakan “hitung semua yag kamu makan disini” lantaran aku menjeguk kakak ke bogor lahiran lalu terlambat pulang ke ruko. Padahal belum jam kerja.  memang ini buka cita-citaku, melainkan bakat dadakan.

Di kantor pesantren Al-Azhar pada saat membayar SPP MTS aku melihat daftar namaku di layar kaca komputer di ketikkan. Bangganya melayang-layang ke arsy. Terbesit dalam hatiku ingin sekali belajar komputer siapa tau nanti aku bisa menulis didepan monitor seperti guruku ini. Aku ingin menjadi penulis. Pas kami kelas 2 Dibuka kelas les komputer Al-Azhar Cours membayar Rp.5000 sekali pertemuan. Orangtuaku tidak mampu, syukur saja aku di ajak Khoirul Rangkuti menemaninya. Akhirnya aku bisa mencuri ilmu komputer walau sekedar On-On saja. ditambah lagi abang ismail punya komputer jadul. Aku disuruhnya praktek menggambar  komputer. Agar lebih akrab dengan mose.

2010 aku menjaga konter Abdul Cellullar di pasar Simataniari. Ada komputer unutk mengisi lagu-lagu HP. Memegang HP saja saya takut koslet apalagi mengoperasikan komputer. Seumur-umur dipesantren sangat diharamkan bagi kami pengang alat elektronik tanpa izin, begitu undang-undang yang berlaku. Lama-kelamaan aku bisa juga dan penjaga konter itu bukan deretan cita-citaku. Malah tahun 2016 aku bekerja di Warnet Pasidzone sadabuan. Mengoperasikan komputer. Berteman akrab dengan kabel-kabel yang saya takuti. Dan selanjutnya malah menjadi Admin pesantren Al-Azhar. Setiap hari di depan komputer. Tetap tidak jadi penulis juga.

 Ketika waktu nyantri sejak 2003 sering melihat mobil pribadi lewat di depanku ada sticker dibelakang bertuliskan  The Off Family Darul Mursyid. Kata orang pesantren itu sekolah anak-anak orang kaya. Menurutku pantaslah banyak mobil pesantrennya. Gaji gurunya besar. Jadi setiap guru punya mobil asal merek the of family darul mursyid itu mugkin gurunya. Muridnya pintar-pinar, masuk kesana di seleksi. Aku sangat percaya soalnya ada alumni Darul Mursyid Guru praktek bahasa arab di pesantrenku. Tidak pernah terlintas dibenakku jadi santri atau berkunjung kesitu. Sebab di pesantren gratis ini saja aku tak mampu. Entah kapan aku menulis kategori masuk PDM. Tahun 2013 aku mulai bekerja di Pesantren Modren Unggulan terpadu Darul Mursyid. Dan ternyata benar yang sekolah dipesantren ini anak-anak orang kaya. Peraih juara olimpiade. Penasaranku selama ini akhirnya terjawab kalau sticer The Off family Darul Mursyid  itu mobil orangtua para santri yang sekolah anaknya disini, bukan mobil guru.

Kalau saya kutip perkataan ARAI dalam buku novel sang pemimpi laskar pelangi karya Andrea Hirata “bermimpilah sebab mimpi-mimpimu itu di peluk tuhan” kalau ini nyaris pas sekali dalam realita kehidupanku sebab sering terjadi mimpiku menjadi nyata. Bolehkah aku bertanya lagi. Apakah mimpi dan cita-cita itu sama atau beda ?

Coba kawan berikan jawaban lewat cerita cita-citaku tadi saat kelas 6 Al-Azhar. Ingin ke jakarta melihat monas dan solat dimasjid Istiqlal lalu jadi Artis. Saat aku masih santri sangat suka mendengar radio. Dulu gelombang luar negeri wara-wiri mengalahkan RRI. Samapi radio lokal pun ikut bersaing. Paling saya sukai adalah warta berita. Karena di rumahku tidak ada TV. Kemudian lagu-lagu P.Ramlee sangat digemari ayah. Sampai zaman radio saat itu menjadi media paling dinikmati masyarakat. Penyiarnyapun berlomba-lomba kreatif dan unik saat mengudara.  Nenekku dan irham senang mendengar Radio Al-dino Panyabungan ada juga gelombang radio pesantren baharuddin. Kami sekeluarga pun ikut fans  jadi pendengar budiman. Hampir hafal nama-nama penyiar saat itu. Dan program perjam nya.

Disitulah aku sangat ingin sekali jadi penyiar radio. Penasaran seperti apa radio itu. Hingga aku belajar bicara cepat-cepat. Sering membaca buku dan koran-koran bekas bungkus ikan asin. Jika ada berita senang mendengarnya. Baik di TV maupun HP. Bahkan saat menjaga warnet dulu paling sering saya tonton adalah berita. Aku mengikuti berita kasus kopi Sianida . Hingga kasus penyirama air keras ke Novel Baswedan. Suka menonton ILC belajar menadi presenter ala karni ilyas. Bahkan novel karni Ilyas ada di rak buku saya. Menyimak gaya bahasa cara baca berita kebakaran. Sangkin inginnya jadi presenter pembaca berita. Fansku mungkin teman-teman tau selain dari karni ilyas, ada Najwa Sihab, Andiy Noya, Annisa, Windy, Fadil dan fadlan, sampai-sampai terseret juga nama Dedi Corbuzer dan Feni Rose.

Ketika ada perayaan hari-hari besar islam di kampungku aku sering menjadi host acara Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj dan penyambutan bulan suci Ramadhan. Saat di pesantren juga aku sering protokol tablig akbar malam minggu. Hingga tiap ada Renui Al-Azhar aku selalu jadi pembawa acaranya. Maupun penammatan alumni. Pernah jadi host di Aula darul mursyid ketika syukuran gelar Doktor Syahbuddin Ritonga, DBA. juga beberapa kali pemandu acara walimatul urs dibeberapa kampung. Begitulah rezeki artis kampungan.

Akhir tahun 2017 aku mencoba keberuntungan melamar kerja Broadcasting di PT. Radio Buana Madina Prima Fm menjadi penyiar radio gelombang 95.1 Mhz. Alhamdulillah berselang tiga hari dari malam Minggu hingga pagi rabu aku mulai training hari pertama mengudara di 95.1  Madina Prima FM “sahabat setia anda”.  Dipancar luaskan dari JL. Jedral Besar Abdul Haris Nasution. Kelurahan Kayu Jati, Panyabungan. Mandailing Natal.

Kalau jadi penyiar tentu bukan sekedar pembaca berita. Segala acara meski dipandu. Program acara di Prima Fm tentu saya bawakan  Mulai dari DPR (Dendang Prima Reques), MPR (Malasya Pop Reques) Primantara (Prima Nusantara), Kabar Komplit, Prima Karaoke, Prima Love To You (ajang curhat), gosip, Tips,  news update, sampai ada Abang Mansur (Ayo Bangun Makan Sahur). Wajib saya ikuti skenarionya. Inikah yang dinamakan artis. Kira-kira jawaban pertanyaanku diatas, apakah cita-citaku sudah tergapai jadi artis. 

Kalau saya ingat-ingat, paling sering saya lakoni adalah mengajar. Berarti saya menjadi seorang guru. Padahal guru itu termasuk cita-cita kan?. Namun aku tidak pernah sama sekali bercita-cita jadi guru, sebab dulu pernah guruku bilang tidak enak jadi guru, sakit, makan hati. Malah hampir semua kisah hidupku profesi mengajar.

Pada saat masih santri kelas 3 Al-azhar saya sudah mulai mengajar anak-anak mengaji malam, mengajar iqro. Siang harinya juga di Madrasah Darul Qur’an desa Huraba, kecamatan siabu, Mandailing Natal (2003-2008). Pengabdian persyaratan lulus Al-Azhar mengajar selama 3 tahun di desa Simataniari Kecamatan Angkola Barat, Tapanuli selatan. Aktif mulai mengaji magrib, pagi TK Anak Bangsa , Pesantren Al-Azhar Sangkunur, siang Madrasah Roudotul Ulum (2010-2012). Kemudian TK Hj. Mardiah, Pesantren Darul Mursyid Sidapdap Simanosor, Saipar Dolok Hole, Tapsel (2013-2015). Pesantren Darul Azhar, Rumah Pengajian Asamah, Desa Jambur Padang Matinggi,  Kecamatan Panyabungan Utara, Madina (2016-2018). Hingga sekarang saya sedang mengajar di MDTA Babul Ilmi dan SDN 355 Batahan IV, Kecamatan Batahan, Kabupaten Mandailing Natal.

Makanya saya bingung, mana cita-citaku. Sebagian orang menggapai cita-cita dengan membuat peta tujuannya. Biasanya dicoret-coret dinding untuk motivasi targetnya. Lalu jika tidak tergapai kebanyakan mereka putuskan saja jadi orang gila. Lebih indah dan mudah. Garansi seumur hidup. Tanpa ribet.

Perjalanan hidupku ini sudah seperti air laut menampung segala air. Itulah ibarat cita-citaku. Maka tidak mengenal mana sungai Batang Gadis, sungai batang Angkola, dan sungai lainnya. Pada akhirnya asin tak tertelan. Semakin diminum semakin haus. Rakus mengembat segala profesi. Pada akhirnya tidak memiliki titel sebai seorang yang telah sukses meraih cita-cita. Coba seandainya aku seperti anak sungai. Dari rura hingga ke sungai sampai kelaut. Tentu punya arah dan tujuan yang pasti. Walau melewati semak belukar, pegunungan tinggi, terhujam di atas batu, dihempas kerikil tetap sabar mengalir terus, walau bendungan menghambat ia tetap istiqomah berusaha menggapai tujuan. Demi menjadi sumber kehidupan. Ia yakin jika ingin menggapai sesuatu kesuksesan tentu berusaha, sungguh kapal layar takkan  berlayar di tanah tandus.


Sampai sekarang aku belum menentukan cita-citaku apa. Sudah terlalu tua umur kalau masih menanam. Ibarat tumbuhan kalau membibit takkan tumbuh lagi. Kalau stek mungkin saja bisa. Kalau masih ada yang bertanya tentang cita-citaku apa? Mungkin orang tersebut tertipu dengan awet mudaku. Seharusnya pertanyaan itu hanya cocok di pertanyakan pada anak PAUD. Kaum Milenial saja di tanya sekarang cita-citanya pengen jadi youtuber. Kaum kolonial mungkin cita-cita mereka Naik Haji Jika mampu. Berarti boleh juga kami kaum milenium menjawab sukses jadi youtuber dulu baru Haji. Berarti Ibadah sambil vlog, hay guys cita-citamu apa ?
 

Facebook : Mahdian Tamin Rangkuti WhatShapp : 081362670771

Tidak ada komentar: