mencari bait-bait puisi kehidupan |
Hidupku penuh dengan kebingungan.
Kemanakah arahku akan pergi, saat ini ayah sudah tua, tak pantas lagi untuk
bekerja berat, namun aku belum juga mendapatkan kehidupan yang membuat mereka
bahagia, ayah dan umak telah tua, sudah beruban. Haruskah kehidupan sampai tua
mereka tetap belum merasakan hasil
dariku, aku ana mereka satu-satunya yang tammat sekolah hingga ke jenjang SMA,
memegang ijazah. Seharusnya aku sudah bekerja disebuah perusahaan yang lebih
bagus keuangannya.
Tiap kali aku menelpon ayah dan
umak, meyapa kabar. merka memang tak berharap aku mengirimkan belanja untuk
kebutuhan keluarga, tapi sebenarnya mereka mengharapkanku, aku benar-benar
berdosa telah menyia-nyiakan hidup dan kasih saying mereka, kutau bukan uang
yang membahagiakan kedua orangtua, tapi yang dibutuhkan dalam hidup adalah uang
untuk melangsungkan kehidupan.
Lebih sedih lagi jika umak
curhat, bahwa belanja mereka selama ini dari hasil adikku irham, yang
meminta-minta kepasar. Aku memang belum beruntung, dia adikku yang tidak bias melihat
dunia hanya rela dan pasrah saja serta kasihan mendengar keluh kesah ayah yang tidak ke warung kopi atau umak dipagi
hari mengeluh karena hutang sembako bertumpuk di setiap warung. Kadang umak
takut sekali tak diberikan orang lagi berhutang, umak selalu cerita kalau
hutangnya ada dimana-mana, agar jika suatu saat nanti untung badan didatangi
oleh takdir kami tau berapa banyak hutang umak yang wajib kami bayar.
Sedih sekali memang, kapankah
lagi aku bisa membuat mereka tersenyum indah, apakah selama hidupku mengikuti
jejak kehidupan ayah, sejak kecil kami dibawa kesana kemari demi melanjutkan
hidup yang tiada pasti dari kampung ke kampung hingga beberapa desa sudah di tempati, namun tetap pindah lagi. Jika
kehidupanku memang seperti ini memang sanyat menyedihkan.
“Ya..robbi, aku telah berkeluh
kesah di atas kertas putih ini kutuliskan do’a-do’aku dalam kertas putih ini,
titikan tinta menggoreskan segala keluh kesahku, apakah aku harus mengikuti
jejak petualangan ayah sedangkan umak dan anak-anaknya ikut saya, apakah tidak
ada lagi tanah tempat kami untuk meludah, kapankah kami berdiri diatas kaki
kami sendiri, ya robbi engkaulah yang maha tahu dan engkaulah yang memantau
kehidupan kami kemana kami pergi dan apa isi hati kami ketika berada dimanapun”.
(catatan hati seorang santri: mahdiantaminrangkuti).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar