Selasa, 10 Mei 2016

Hidup-Hidup di Rantau Orang




mencari bait-bait puisi kehidupan
Hidupku penuh dengan kebingungan. Kemanakah arahku akan pergi, saat ini ayah sudah tua, tak pantas lagi untuk bekerja berat, namun aku belum juga mendapatkan kehidupan yang membuat mereka bahagia, ayah dan umak telah tua, sudah beruban. Haruskah kehidupan sampai tua mereka  tetap belum merasakan hasil dariku, aku ana mereka satu-satunya yang tammat sekolah hingga ke jenjang SMA, memegang ijazah. Seharusnya aku sudah bekerja disebuah perusahaan yang lebih bagus keuangannya.

Tiap kali aku menelpon ayah dan umak, meyapa kabar. merka memang tak berharap aku mengirimkan belanja untuk kebutuhan keluarga, tapi sebenarnya mereka mengharapkanku, aku benar-benar berdosa telah menyia-nyiakan hidup dan kasih saying mereka, kutau bukan uang yang membahagiakan kedua orangtua, tapi yang dibutuhkan dalam hidup adalah uang untuk melangsungkan kehidupan.

Lebih sedih lagi jika umak curhat, bahwa belanja mereka selama ini dari hasil adikku irham, yang meminta-minta kepasar. Aku memang belum beruntung, dia adikku yang tidak bias melihat dunia hanya rela dan pasrah saja serta kasihan mendengar keluh kesah ayah  yang tidak ke warung kopi atau umak dipagi hari mengeluh karena hutang sembako bertumpuk di setiap warung. Kadang umak takut sekali tak diberikan orang lagi berhutang, umak selalu cerita kalau hutangnya ada dimana-mana, agar jika suatu saat nanti untung badan didatangi oleh takdir kami tau berapa banyak hutang umak yang wajib kami bayar.

Sedih sekali memang, kapankah lagi aku bisa membuat mereka tersenyum indah, apakah selama hidupku mengikuti jejak kehidupan ayah, sejak kecil kami dibawa kesana kemari demi melanjutkan hidup yang tiada pasti dari kampung ke kampung hingga beberapa desa  sudah di tempati, namun tetap pindah lagi. Jika kehidupanku memang seperti ini memang sanyat menyedihkan.

“Ya..robbi, aku telah berkeluh kesah di atas kertas putih ini kutuliskan do’a-do’aku dalam kertas putih ini, titikan tinta menggoreskan segala keluh kesahku, apakah aku harus mengikuti jejak petualangan ayah sedangkan umak dan anak-anaknya ikut saya, apakah tidak ada lagi tanah tempat kami untuk meludah, kapankah kami berdiri diatas kaki kami sendiri, ya robbi engkaulah yang maha tahu dan engkaulah yang memantau kehidupan kami kemana kami pergi dan apa isi hati kami ketika berada dimanapun”. (catatan hati seorang santri: mahdiantaminrangkuti).

Tidak ada komentar: