Rabu, 01 Januari 2020

PESANTREN GRATIS AL-AZHAR JAMBUR PADANG MATINGGI



mahdiantaminrangkuti@gmail.com

BROSUR KABAR GEMBIRA
GRATIS TANPA BIAYA

Suasana pagi masih lengang dijalan Medan-Padang desa jambur Padang Matinggi, embun juga belum diusik matahari. Kicauan burung diranting pohon-pohon karet dibelakang rumahku, berbalas cuitan. Ayam jantan milik irham juga tak kalah iseng menyahut suara ayam bersorak usfuru ya ghofilun, sesuka-sukanya membangunkan orang pagi ini. Jalan  raya jambur padang matinggi masih sepi dari kendaraan. Lobang Hidungku menyantap sarapan aroma goreng pisang dari asap warung kopi. Aroma asap gorengan itu hanya pagi hari sempurnanya.

Pagi ini aku membawa sekayan piring kotor, bekas sekeluarga  tadi malam dan sisa kemaren lepas makan sore. Ini memang tugasku setiap harinya sepulang dari sekolah kecuali hari minggu.  Beberapa hari  ini aku libur sekolah karena menunggu hasil Ujian Akhir Sekolah (UAS) jadinya aku tidak mandi seperti hari-hari biasanya, itupun kalau tidak dingin.

Sambil mencuci piring . kuceritakan dulu tentang denah masjid ini mandan, kami menyebutnya masojid Menek  atau masjid kecil lebih nostalgianya surau. Mesjid ini bernama Al-Ikhlasiah , berdiri kokoh dipinggir jalan lintas sumatera. Desa jambur padang matinggi kecamatan panyabungan kabupaten mandailing natal.
 Kiblatnya mengarah jalan raya. Tempat imamnya khusus ber mihrab dikanan imamnya ada mimbar tiga anak tangga kramik putih karena tidak lagi berfungsi untuk khatib, cocok dijadikan tempat al-qur’an dan microfhone, warna masjid ini cat putih berlantai kramik kecil-kecil berwarna biru dan putih. Ditengahnya ada satu tiang kayu yang sangat kokoh orang bilang nama kayunya ingul, tidak dicat. Bagian atapnya tiga tingkat. Kubah kecil dipucuk masjid bulat dan ada kalimat lafadz "Allah". Pintu masjid ini ada tiga bagian kiri, kanan dan belakang.

Dua pintu kiri dan kanan masjid ini hanya dipungsikan setiap bulan suci ramadhan saja. kalau untuk ber wudu’ jama’ah harus masuk dari arah kanan masjid menuju arah pintu belakang disitulah fasilitas tempat wudu’ mandi dan buang keikhlasan. Sementara untuk perempuan dari sisi kiri masjid melewati gang rumah karena masjid ini diapit gang rumah warga. Jadi akses kedalam tidak bisa dilewati kendaraan, kecuali orang yang tidak pandai baca “ dilarang mencuci kendaraan disini”.

Pintu masjid paling belakang dipungsikan jamaah, ada dua anak tangga dan tidak terlalu tinggi dapat dilangkahi anak usia TK. Didepan anak tangga itu ada kulak air tempat mencuci kaki sebelum masuk masjid demi menjaga kesucian masjid dari hadas dan najis kecil, pertengahan. Air kulak itu sendiri mengalir dari pancur pemandian melewati parit depan Wc agar ada air pencuci najis yang keluar dari qubul maupun dubur di dalam WC. Air itu jugalah sebagai pencuci piring yang kubawa dari rumah untuk cuci kotornya. Barulah cuci bersih dibawah air pancur.

Bukan aku saja yang mencuci piring disitu, ada marhadi, tapi piringnya lebih sedikit, plastik pula semuanya. Piring cucianku lebih banyak bercampur bahan plastik, kaleng, cangkir segelas-gelasnya ikut serta, dan tak lupa Sonduk Takar. Sulit menguras bekas daun ubi tumbuk yang berselaput dipinggan. Menggunakan sabut kelapa kurang bersih juga, harus dibantu abu gosok, padahal capeknya minta ampun saat merobek-robek sabut itu ditambah lagi malim masjid banyak protes, keberatan melihat ampas sabut berserakan di atas air kulak. Selain menerima teguran alim, jangan ada nasi berserakan dipinggiran kulak.
Jemari tanganku kerap tertusuk duri balanak, perih rasanya. Alim itu tak pedulikan nasibku yang berbakti mencuci piring keluargaku. Yang pasti baginya kebersihan mesjid dijaga dan bahkan dinding masjid juga  ikut menegurku persis di kanan dinding  pintunya ada sablon tulisan cat merah “Jagalah kebersihan Masjid dan Jangan ribut waktu Solat”.

Tentangku yang suka mencuci piring dan pakaian keluarga. Aku tak peduli apa kata teman-temanku. Tapi biarlah mereka bilang apa, sudah biasa kuterima ocehan orang-orang seperti mereka. Banyak ejekan yang kuterima membuatku tidak banyak bergaul karena tidak terima di olok-olok, makanya aku tergolong pendiam, punya dunia sendiri. Lebih banyak mengikuti apa kata orangtua, hak bermainku dirampas oleh sawah, kebun, batu-bata dan urusan rumah, sesekali aku mencoba bergaul tapi tidak ada kecocokan dengan siapapun karena mereka sinis melihatku dan malu berteman denganku karena mengerjakan pekerjaan perempuan pada umumnya, maka aku selalu dapat bully.

Cuci piring sambil berangan-angan. Aku masih teringat dengan cerita-cerita temanku saat ujian terakhir, tentang mereka menyambung sekolah kemana. Ada yang bilang ke purba itu pesantren impian umak, SMP mompang impian terberatku,  atau ikut keluarganya kejakarta, akhir segalanya bagi kami. aku merasa terlarang menanamkan niat dalam hati entah menyambung sekolah kemana, impianku hanya satu SMP mompang, karena abang bayo selalu cerita tentang guru pavoritnya Ibu AS. Aku jadi ikut-ikutan fans. Padahal sama sekali tidak ku kenal orang itu, dan dia guru apa. Ayah sudah pernah katakan aku hendak disekolahkan ke pesantren darul istiqomah pijor koling jauh kesidimpuan namun tidak ada tindak lanjutnya.

Kata ayah mudir pesantren istiqomah itu meminta salah satu anak ayah sekolah kesana tanpa bayar sebab Beliau adalah sahabat ayah sejak dulu, kemungkinan mudir itu berhutang budi pada ayah karena diberi tompangan hidup di rumah ayah saat beliau mengajar sekolah arab, sekolah arab itu madrasah sore. Bertahun-tahun ayah bersamanya. Perjuangan beliau hampir di ujung nyawa kalau bukan berkah pertolongan ayah, dan istri beliau juga bercerita seperti itu padaku saat kami pernah satu taksi aek mais menuju jambur melayat Ayahanda H. sech. H. Husni Musthafa siregar ( Buya Bagas). Mudir tersebut tidak se sukses sekarang.

Dan mudir itu bilang pada ayah tugasku pulang sekolah nanti Cuma merawat itik milik pesantren dan telornya nanti akan dijual lalu hasilnya dibagi padaku supaya ada tambahan belanja. Aku hanya iyakan saja, jika ada yang tanya kemana aku nyambung sekolah, saya katakan ke Darul Istiqomah sidimpuan. Seperti sebelum liburan ini. Dijalan menuju Les SD bersama bapak nizar, soibah menanyakan hal itu padaku dan kujawab seperti rencana ayah namun soibah mengajakku sekolah di pesantren buya bagas saja. Si jannah juga mengajakku sekolah ke darut tauhid milik Ayahanda sech. H. Abdul Qodir Lubis Katanya disitu enak belajarnya dan aku sebenarnya bukan tidak mau, kalau bisa memilih bahwa sebenarnya aku tidak terlalu minat sekolah dikampung sendiri. Walau aku suka bermain ke pondokan pesantren dulu. Bahkan dari awal aku tidak begitu tertarik untuk belajar di pesantren, hanya khas aroma masakannya yang membuatku tertarik mau kepesantren.
Tapi entahlah, boro-boro menyambung ke Darul Istiqomah, atau SMP, berniat nyambung aja tak berani, semua ini karena ekonomi keluargaku benar-benar sulit, makan saja bisa sudah kami syukuri walau masih dipercaya orang berhutang beras, cabe, garam dan bawang. Daruratnya ekonomi kami sering menahan malu meatap wajah amang boru saripul yang setiap saat berhutang belanja diwarungnya.

Selesai ku cuci piring, akupun melucuti pakaian ku sambil menggantinya dengan basahan karung tepung merek segitiga, warnanya sudah usang penuh cirik lale. Pakaian kugantung di paku yang berjejer pada jendela masjid ini, akupun saatnya mulai berjalan ke pancur.Selesai mandi trus handuk kutarik dari sangkutannya, sambil berhanduk bola mataku tertuju pada sebuah kertas yang ter tempel di kanan pintu masuk masjid bertuliskan. KABAR GEMBIRA.







AL- AZHAR MEMANGGIL CITA-CITAKU

Yayasan pondok pesantren ma’had darul azhar
Jl. Lintas sumatera – medan- padang, desa Jambur Padang Matinggi, Kec. Panyabungan, Kab. Mandailing Natal, 22978
Menerima santri-santria baru TA. 2003/2004 GRATIS TANPA DIPUNGUT BIAYA
Kertas itu ku copot tak sempurna lagi sebab sisa lemnya lengket disitu bersama kertas yang bandel. kukantongi untuk dibawa kerumah mau di tunjukkan pada ayah dan umak.
Tarahim menjelang magrib berbalas dari masjid ikhlasiah dolok dan masjid raya al-mustaqim lombang jambur padang matinggi antara bapak borohim dan tua’ allazi. Tarahim itu menandakan waktu azan akan segera berkumandang 5 menit lagi selain itu setiap waktunya solat selalu ada alunan tarahim dari masjid di syairkan yang ingin azan untuk mengingatkan masyarakat bahwa waktu solat telah dekat.
Belum ada tanda-tanda ayah sampai dirumah kemungkinannumak masih berjalan menuju rumah dari sawah atau kebun orang bersama awan-awan merah cerah menjelang magrib dan aku sudah memasak nasi sejak lepas azan asyar tadi membersihkan dapur, rumah dan seisinya memang tugas rutinku pulang sekolah seperti itu bergantian dengan abang bayo.
Ba’da magrib menjelang isa’ bahkan ba’danya  sudah jadi kebiasaan dirumahku terlambat memasak. Usai makan malam, ayah menarik sebatang rokok dari bungkus Once lalu membakar ujungnya di lampu teplok buatan kakekku sebelum umakku menjadi yatim. Lampu ini salah satu kerajinan tangan kakekku sangat berjasa buat kami sampai kecucu cicitnya, seolah turun temurun ibarat benda pusaka pertiwi, padahal Cuma terbuat dari botol bekas M-150, kemudian leher odol gigi sebagai penyangga sumbu yang terbuat dari kain katun buruk sehingga terlihat cantik dan menarik.
 Botol lampu ini diisi minyak tanah lalu sumbunya dibakar supaya cahayanya dapat menerangi segala sudut rumahku berlantai tanah beralaskan amparan padi, lampu cantik ini diberi potongan bambu sebagai tiangnya sekitar 10 centi meter panjangnya lalu dipakukkan pada balok kecil dibawahnya agr lampu berdiri elegan.
Umur lampu ini lebih tua dari tanggal pernikahan ayah dan umak, sebab sebelum umak beranjak dewasa lampu ini sudah tercipta, kalau boleh saya katakan pertamakali menemukan lampu ini adalah JAUHUM dialah kakekku ayahnya umak. Meski belum tercatat di rekor MURI maupun hak paten indonesia. Sebelum negara lain mengklaimnya ada baiknya hari ini lebih afdol diberi label Made In Mandailing, Indonesia.
Setelah merah ujung rokok itu lalu ayah mengisap bagian pilternya sambil menyandarkan tubuhnya kedinding papan tempat duduk ayah biasa, tempat ini laksana singgasana terbuat dari zabarjud dan permadani sehingga kami tidak berani duduk di tempat ayah biasa duduk hukumnya pantang sama dengan haram dosa besar karena tidak sopan santun terhadap orang tua walau yang ayah duduki sama dengan kami namun derajat posisinya berbeda.
Lain halnya dengan umak kalau selesai makan. Kebiasaan umak pasti makan pining tak jarang kami disuruh mengambilny kedapur:
“gendut, kodir, bayo, irham, hadi, Boh marempot sudebo. Nama-nama kami terseret latah belepotan di ucapkan umak. Pas umak sadar dari melatah nama-nama kami, akhirnya kami pun jadi terpingkal-pingkal dibuatnya Untung saja nama ayah tidak tersebut, padahal yang mau disuruh umak mengambil pining adalah Aku.
            Hanya gara-gara mengambil pining kering dibawah rak piring dapur, aku dan kodir saling melontar pandangan, bola mata kami berguling-guling ke kanan kiri, melirik tajam adu bahu saling mengelakkan perintah umak yang merasa lidahnya hambar kalau tidak makan pining habis makan. Hingga umak matubek-bek “ nasodong mantong daganakon natar suru sasada”  dan umak pun marah menyuruh kodir malah ditangkis kodir bebek-bekan umak “ Au sajo sigendut langa” sambil menyuapkan nasi kemulutnya dengan judes.
Sebelum kena semprot akupun beranjak dari depan piring nasiku dengan wajah seribu satu  keriput sambil ngoceh tanpa suara. Karena aku sadar juga ada yang ingin kubicarakan pada ayah dan umak tentang robekan brosur tadi, walau aku tidak yakin seratus persen ayah dan umak setuju bahwa aku ingin sekali menyambung sekolah lanjutan. Paling jawaban yang kudapatkankan hanya diam seribu bahasa, abang bayo dulu pernah diposisi ini berakhir campak kejakarta mengadu nasib ke ibu kota paling kejam sedunia itu.
Awalnya abang hadi bilang dikirimkan saja abang bayo ke jakarta supaya disekolahkannya disana, namun sampai disana seratus persen berubah judul dan kenyatannya, abang bayo malah jadi pedagang membantu abang hadi jualan sembako, dan akhirnya abang bayo tidak memiliki ijazah SMA sekolahnya Cuma kandas di SMP mompang, sayang sekali kepintarannya hanya sebatas buruh kasar dan itu penyesalannya yang sangat mendalam makanya ia pulang dari jakarta membantu ayah dan umak meringankan beban keluarga, niatnya begitu besar untuk memperjuangkan sekolah kami. Dia tidak ingin senasib dengannya.
Pahitnya kehidupan keluargaku dihimpit ekonomi krisis moneter Akhirnya aku mengurungkan niat tidak lagi mau sekolah walaupun kemana, dan aku masih terbayang kata-kata umak jika aku lulus nanti sudah ada teman umak kemana-mana jika ada tawaran Manajak/ menggarap sawah dan marbabo kebun orang, baca tulis dan berhitung saja sudah cukup kata umak, kalau untuk menyambung sekolah jelas sudah umak katakan mereka tidak mampu membiayainya. Kalaupun aku ingin sekolah cari biaya sendiri seperti abang bayo wakyu SMP.
Umak memberi wejangan sebelum aku lulus sekolah, jika aku nanti sekolah SMP. Pulang balik tiap hari ongkos, uang buku beli sendiri. Pulang sekolah cari pekerjaan manaru, marmuat, ke batu-bata. Kalau aku ingin kepesantren kata umak harus siap mondok tanpa belanja yang tetap, jika ada dikirim hemat-hemat, kalau memang benar-benar mau sekolah makan nasi lauk garam pun udah jadi. Namun seperti itupun kata umak mereka tidak mampu padahal harapan besar umak ingin sekali aku bisa sekolah di pesantren Musthafawiyah purba baru.
Umak teringat kisahnya saat diminta bapak sekolah arabnya dulu supaya menyambung sekolah pesantren ke purba. Melihat keampuan umakku dalam menangkap mata pelajaran sangat genius, kalau umak mau, bapak gurunya menjamin sudah mampu duduk di kelas empat purba. Dan aku sangat kagum ketika umak bilang pelajaran madrasah mereka tafsir jalalain, fikih bajuri, parrukunan, nahu kawakib, sorof mukhtasor jiddan. Tarekh nurul yaqin. Sementara  pelajaran kami waktu sekolah arab di madrasah GUPPI jambur padang matinggi. Belum pernah mendengar nama buku itu.

Tapi nenekku tak memberi izin, karena nenekku tak ingin menyekolahkan putrinya-putrinya tinggi-tinggi. Cukup saja bisa masak dan kesawah ditambah pandai mambayu/menganyam sudah bisa jadi ibu rumah tangga. Jadi tammatan pun kelak tetap kedapur juga kata nenek. Sementara kakekku


PERTAMA MASUK PONDOK
Ista’iddu
Saushofufakum
Aqiasu ilal amam
Ista’iddu
Setelah barisan disiapkan santripun dipimpin ketua barisan untuk berjama’ah menyebutkan apa saja yang disebutkannya sampai Asma’ul Husna :
 Allohu goya tuna
Warrosuu qudwatuna
Wal qur’anu dusturuna
Wal jihadu sabiluna
Wal mautu fi sabilillahi asma’ maina
Aku selalu ambil barisan pertama persis disebelah barisan kelas dua, barisanku itu selalu disamping abang Hamdan Nasution, jadi penanda bagiku kalau jars berbunyi langsung baris di dekatnya, orangnya hitam alamek lebih tinggi sejengkal dari padaku suaranya agak keras seperti batuk yang nyangkut ditenggorokan asma’ul husna yang dilantunkannya jadi jelas ditelingaku untuk dapat kuikuti apa saja yang dibacakan seluruh santri ini.
Hari pertamaku haplah di pesantren ini rasanya menyenangkan, bahkan aku terharu bisa berdiri disini bersama orang-orang yang datang dari berbagai daerah yang jauh dan ternyata bagiku tidak ada penyesalan karena tidak jadi ke SMP mompang. Suatu kebanggaan dan penghormatan bahwa nama kampungku ini tersebar dimana-mana lewat Brosur Yayasan Pondok Pesantren Darul Azhar. Dan ternyata brosur itu menjodohkanku mondok di Al-Azhar milik buya bagas.
Dan inilah hari pertamakali juga aku memakai sorban dililitkan dikepala. Baru saja aku disini abang kelasnya sudah ramah tamah mengajari kami santri baru memakai kain sarung yang wajib dipakai setiap hari dimana sajapun berada. Kecuali sedang mandi. Berpakaian muslim sopan santun. Berjalan tanpa lari-lari. Masuk kelas tanpa ribut, menyiapkan diri menyambut guru yang masuk, memberi salam dan penghormatan kepada guru-guru yang masuk pada tiap kelas. Kata abang kelasnya kalau panggilan Guru Laki-laki bukan bapak lagi tapi “BUYA” dan guru perempuan itu bukan Ibu namun “UMMI” dan baru aku tau arti sesungguhnya bahwa Buya-Ummi itu adalah sebutan untuk guru pesantren darul Azhar dan selama ini saya pikir itu nama Buya bagas dan Ummi masin.
Jauh langkah sebelum buya masuk kelas satu, kami terdiap seolah mulut terkunci, buya masuk dengan salam yang fasih sepertinya beliau orang arab asli, wajahnya tampan dan putih, jenggotnya terawat laksana gambar lelaki iklan di kotak minyak firdaus, jubah putihnya gagah dan harum sambil menenteng tas hitam berkilat. Langkahnya tawadu’ wajahnya ramah menatap kami murid baru, lalu menyuruh kami untuk memperkenalkan diri satu-persatu nama dan asal mulai dari si :
1.      Marahalim marpaung asal Bagan Batu,
2.      Jonni sagala Rantau Prapat,
3.      Sapnuddin Kasim Siregar Lopian sibolga,
4.      Mahdian Tamin Rangkuti Jambur Padang Matinggi,
5.       Panyahatan Sayur Matua,
6.       Torbanua Raja,
7.      Abdul Majid Nasution Jambur Padang Matinggi,
8.      Baihaqi Nasution Huta Hodang Muda,
9.       Safron Dalimunthe Huta Godang Muda,
10. Zulfikar Jmabur Padang Matinggi,
11.  Musthofa Husein jambur Padang Matinggi,
12. Muklis Padangsidimpuan,
13.  Herman Pelani Rantau Prapat,
14.  Zainal Abidin Padangsidimpuan,
15.  Suman Hadi Aek libung,
16. Wildan Pagur,
17. Muhammad Yusuf  Rangkuti Jambur Padang Matinggi,
18. Tolong isi list “WANTED” santri Al-Azhar 2003

Setelah kami perkenalan baru buya tersebut menulis di papan tulis hitam dengan kapur tulis putih menggunakan bahasa ‘arab berbaris supaya dapat kami baca, Ismi : H. Syariful Mahya, Lc, dan Maddah: Insya’. Ternyata SM itu singkatan dari nama buya Syariful Mahya pelajaran Insya’.
            kemudian selesai perkenlan kami dengan buya SM beliau melanjutkan pelajaran menulis huruf Alif dan memberikan langsung tugas menulis huruf Alif satu halaman buku tulis harus persis seperi yang  di contohkan buya dengan khat Tsulus. Degan cara begini tulisan santri akan cantik sendirinya bukan lagi cakar ayam.

Tidak ada komentar: