![]() |
mahdiantaminrangkuti@gmail.com |
BROSUR KABAR GEMBIRA
GRATIS TANPA BIAYA
Suasana pagi
masih lengang dijalan Medan-Padang desa jambur Padang Matinggi, embun juga
belum diusik matahari. Kicauan burung diranting pohon-pohon karet dibelakang
rumahku, berbalas cuitan. Ayam jantan milik irham juga tak kalah
iseng menyahut suara ayam bersorak usfuru
ya ghofilun, sesuka-sukanya membangunkan orang pagi ini. Jalan raya jambur padang matinggi masih sepi dari
kendaraan. Lobang Hidungku menyantap sarapan aroma goreng pisang dari asap
warung kopi. Aroma asap gorengan itu hanya pagi hari sempurnanya.
Pagi ini aku membawa
sekayan piring kotor, bekas sekeluarga
tadi malam dan sisa kemaren lepas makan sore. Ini memang tugasku setiap harinya sepulang dari sekolah kecuali hari
minggu. Beberapa hari ini aku libur sekolah karena menunggu hasil
Ujian Akhir Sekolah (UAS) jadinya aku tidak mandi seperti hari-hari biasanya, itupun
kalau tidak dingin.
Sambil mencuci
piring . kuceritakan dulu tentang denah masjid ini mandan, kami menyebutnya masojid Menek atau masjid kecil lebih nostalgianya surau.
Mesjid ini bernama Al-Ikhlasiah , berdiri kokoh dipinggir jalan lintas
sumatera. Desa jambur padang matinggi kecamatan panyabungan kabupaten
mandailing natal.
Kiblatnya mengarah jalan raya. Tempat imamnya
khusus ber mihrab dikanan imamnya ada mimbar tiga anak tangga kramik putih
karena tidak lagi berfungsi untuk khatib, cocok dijadikan tempat al-qur’an dan
microfhone, warna masjid ini cat putih berlantai kramik kecil-kecil berwarna
biru dan putih. Ditengahnya ada satu tiang kayu yang sangat kokoh orang bilang
nama kayunya ingul, tidak dicat. Bagian atapnya tiga tingkat. Kubah kecil dipucuk masjid bulat dan ada kalimat lafadz "Allah". Pintu masjid ini ada tiga bagian kiri, kanan dan belakang.
Dua pintu kiri
dan kanan masjid ini hanya dipungsikan setiap bulan suci ramadhan saja. kalau
untuk ber wudu’ jama’ah harus masuk dari arah kanan masjid menuju arah pintu
belakang disitulah fasilitas tempat wudu’ mandi dan buang keikhlasan. Sementara
untuk perempuan dari sisi kiri masjid melewati gang rumah karena masjid ini
diapit gang rumah warga. Jadi akses kedalam tidak bisa dilewati kendaraan,
kecuali orang yang tidak pandai baca “ dilarang mencuci kendaraan disini”.
Pintu masjid paling belakang dipungsikan jamaah, ada dua anak tangga dan tidak terlalu
tinggi dapat dilangkahi anak usia TK. Didepan anak tangga itu ada kulak air tempat mencuci kaki sebelum masuk masjid demi menjaga kesucian masjid dari
hadas dan najis kecil, pertengahan. Air kulak itu sendiri
mengalir dari pancur pemandian melewati parit depan Wc agar ada air pencuci
najis yang keluar dari qubul maupun dubur di dalam WC. Air itu jugalah sebagai
pencuci piring yang kubawa dari rumah untuk cuci kotornya. Barulah cuci bersih
dibawah air pancur.
Bukan aku saja
yang mencuci piring disitu, ada marhadi, tapi piringnya lebih sedikit, plastik
pula semuanya. Piring cucianku lebih banyak bercampur bahan plastik, kaleng,
cangkir segelas-gelasnya ikut serta, dan tak lupa Sonduk Takar. Sulit menguras bekas daun ubi tumbuk yang
berselaput dipinggan. Menggunakan sabut kelapa kurang bersih juga, harus
dibantu abu gosok, padahal capeknya minta ampun saat merobek-robek sabut itu
ditambah lagi malim masjid banyak protes, keberatan melihat ampas sabut
berserakan di atas air kulak. Selain menerima teguran alim, jangan ada nasi
berserakan dipinggiran kulak.
Jemari tanganku
kerap tertusuk duri balanak, perih rasanya. Alim itu tak pedulikan nasibku yang
berbakti mencuci piring keluargaku. Yang pasti baginya kebersihan mesjid dijaga
dan bahkan dinding masjid juga ikut
menegurku persis di kanan dinding pintunya
ada sablon tulisan cat merah “Jagalah kebersihan Masjid dan Jangan ribut waktu
Solat”.
Tentangku yang
suka mencuci piring dan pakaian keluarga. Aku tak peduli apa kata teman-temanku. Tapi biarlah mereka
bilang apa, sudah biasa kuterima ocehan orang-orang seperti mereka. Banyak
ejekan yang kuterima membuatku tidak banyak bergaul karena tidak terima di
olok-olok, makanya aku tergolong pendiam, punya dunia sendiri. Lebih
banyak mengikuti apa kata orangtua, hak bermainku dirampas oleh sawah, kebun,
batu-bata dan urusan rumah, sesekali aku mencoba bergaul tapi tidak ada
kecocokan dengan siapapun karena mereka sinis melihatku dan malu berteman
denganku karena mengerjakan pekerjaan perempuan pada umumnya, maka aku selalu dapat bully.
Cuci piring
sambil berangan-angan. Aku masih teringat dengan cerita-cerita temanku saat
ujian terakhir, tentang mereka menyambung sekolah kemana. Ada yang bilang ke
purba itu pesantren impian umak, SMP mompang impian terberatku, atau ikut keluarganya kejakarta, akhir
segalanya bagi kami. aku merasa terlarang menanamkan niat dalam hati entah
menyambung sekolah kemana, impianku hanya satu SMP mompang, karena abang bayo
selalu cerita tentang guru pavoritnya Ibu AS. Aku jadi ikut-ikutan fans.
Padahal sama sekali tidak ku kenal orang itu, dan dia guru apa. Ayah sudah
pernah katakan aku hendak disekolahkan ke pesantren darul istiqomah pijor
koling jauh kesidimpuan namun tidak ada tindak lanjutnya.
Kata ayah mudir
pesantren istiqomah itu meminta salah satu anak ayah sekolah kesana tanpa bayar
sebab Beliau adalah sahabat ayah sejak dulu, kemungkinan mudir itu berhutang budi pada ayah karena diberi tompangan hidup di rumah ayah
saat beliau mengajar sekolah arab, sekolah arab itu madrasah sore.
Bertahun-tahun ayah bersamanya. Perjuangan beliau hampir di ujung nyawa kalau
bukan berkah pertolongan ayah, dan istri beliau juga bercerita seperti itu
padaku saat kami pernah satu taksi aek mais menuju jambur melayat Ayahanda H. sech.
H. Husni Musthafa siregar ( Buya Bagas). Mudir
tersebut tidak se sukses sekarang.
Dan mudir itu
bilang pada ayah tugasku pulang sekolah nanti Cuma merawat itik milik pesantren
dan telornya nanti akan dijual lalu hasilnya dibagi padaku supaya ada tambahan
belanja. Aku hanya iyakan saja, jika ada yang tanya kemana aku nyambung sekolah,
saya katakan ke Darul Istiqomah sidimpuan. Seperti sebelum liburan ini. Dijalan
menuju Les SD bersama bapak nizar, soibah menanyakan hal itu padaku dan kujawab
seperti rencana ayah namun soibah mengajakku sekolah di pesantren buya bagas
saja. Si jannah juga mengajakku sekolah ke darut tauhid milik Ayahanda sech. H.
Abdul Qodir Lubis Katanya disitu enak belajarnya dan aku sebenarnya bukan tidak
mau, kalau bisa memilih bahwa sebenarnya aku tidak terlalu minat sekolah
dikampung sendiri. Walau aku suka bermain ke pondokan pesantren dulu. Bahkan
dari awal aku tidak begitu tertarik untuk belajar di pesantren, hanya khas aroma masakannya
yang membuatku tertarik mau kepesantren.
Tapi entahlah,
boro-boro menyambung ke Darul Istiqomah, atau SMP, berniat nyambung aja tak
berani, semua ini karena ekonomi keluargaku benar-benar sulit, makan saja bisa
sudah kami syukuri walau masih dipercaya orang berhutang beras, cabe, garam dan bawang. Daruratnya ekonomi kami sering menahan malu
meatap wajah amang boru saripul yang setiap saat berhutang belanja diwarungnya.
Selesai ku cuci
piring, akupun melucuti pakaian ku sambil menggantinya dengan basahan karung
tepung merek segitiga, warnanya sudah usang penuh cirik lale. Pakaian kugantung
di paku yang berjejer pada jendela masjid ini, akupun saatnya mulai berjalan ke
pancur.Selesai mandi trus handuk kutarik dari sangkutannya, sambil berhanduk
bola mataku tertuju pada sebuah kertas yang ter tempel di kanan pintu masuk masjid
bertuliskan. KABAR GEMBIRA.
AL- AZHAR MEMANGGIL CITA-CITAKU
Yayasan pondok
pesantren ma’had darul azhar
Jl. Lintas
sumatera – medan- padang, desa Jambur Padang Matinggi, Kec. Panyabungan, Kab.
Mandailing Natal, 22978
Menerima
santri-santria baru TA. 2003/2004 GRATIS TANPA DIPUNGUT BIAYA
Kertas itu ku
copot tak sempurna lagi sebab sisa lemnya lengket disitu bersama kertas yang
bandel. kukantongi untuk dibawa kerumah mau di tunjukkan pada ayah dan umak.
Tarahim menjelang
magrib berbalas dari masjid ikhlasiah dolok dan masjid raya al-mustaqim lombang
jambur padang matinggi antara bapak borohim dan tua’ allazi. Tarahim itu
menandakan waktu azan akan segera berkumandang 5 menit lagi selain itu setiap
waktunya solat selalu ada alunan tarahim dari masjid di syairkan yang ingin
azan untuk mengingatkan masyarakat bahwa waktu solat telah dekat.
Belum ada
tanda-tanda ayah sampai dirumah kemungkinannumak masih berjalan menuju rumah
dari sawah atau kebun orang bersama awan-awan merah cerah menjelang magrib dan
aku sudah memasak nasi sejak lepas azan asyar tadi membersihkan dapur, rumah
dan seisinya memang tugas rutinku pulang sekolah seperti itu bergantian dengan
abang bayo.
Ba’da magrib
menjelang isa’ bahkan ba’danya sudah
jadi kebiasaan dirumahku terlambat memasak. Usai makan malam, ayah menarik
sebatang rokok dari bungkus Once lalu membakar ujungnya di lampu teplok buatan
kakekku sebelum umakku menjadi yatim. Lampu ini salah satu kerajinan tangan
kakekku sangat berjasa buat kami sampai kecucu cicitnya, seolah turun temurun
ibarat benda pusaka pertiwi, padahal Cuma terbuat dari botol bekas M-150,
kemudian leher odol gigi sebagai penyangga sumbu yang terbuat dari kain katun
buruk sehingga terlihat cantik dan menarik.
Botol lampu ini diisi minyak tanah lalu
sumbunya dibakar supaya cahayanya dapat menerangi segala sudut rumahku
berlantai tanah beralaskan amparan padi, lampu cantik ini diberi potongan bambu
sebagai tiangnya sekitar 10 centi meter panjangnya lalu dipakukkan pada balok
kecil dibawahnya agr lampu berdiri elegan.
Umur lampu ini
lebih tua dari tanggal pernikahan ayah dan umak, sebab sebelum umak beranjak
dewasa lampu ini sudah tercipta, kalau boleh saya katakan pertamakali menemukan
lampu ini adalah JAUHUM dialah kakekku ayahnya umak. Meski belum tercatat di
rekor MURI maupun hak paten indonesia. Sebelum negara lain mengklaimnya ada
baiknya hari ini lebih afdol diberi label Made In Mandailing, Indonesia.
Setelah merah
ujung rokok itu lalu ayah mengisap bagian pilternya sambil menyandarkan
tubuhnya kedinding papan tempat duduk ayah biasa, tempat ini laksana singgasana
terbuat dari zabarjud dan permadani sehingga kami tidak berani duduk di tempat
ayah biasa duduk hukumnya pantang sama dengan haram dosa besar karena tidak
sopan santun terhadap orang tua walau yang ayah duduki sama dengan kami namun
derajat posisinya berbeda.
Lain halnya
dengan umak kalau selesai makan. Kebiasaan umak pasti makan pining tak jarang
kami disuruh mengambilny kedapur:
“gendut, kodir,
bayo, irham, hadi, Boh marempot sudebo. Nama-nama kami terseret latah belepotan
di ucapkan umak. Pas umak sadar dari melatah nama-nama kami, akhirnya kami pun
jadi terpingkal-pingkal dibuatnya Untung saja nama ayah tidak tersebut, padahal
yang mau disuruh umak mengambil pining adalah Aku.
Hanya gara-gara mengambil pining
kering dibawah rak piring dapur, aku dan kodir saling melontar pandangan, bola
mata kami berguling-guling ke kanan kiri, melirik tajam adu bahu saling
mengelakkan perintah umak yang merasa lidahnya hambar kalau tidak makan pining
habis makan. Hingga umak matubek-bek “ nasodong mantong daganakon natar suru
sasada” dan umak pun marah menyuruh
kodir malah ditangkis kodir bebek-bekan umak “ Au sajo sigendut langa” sambil
menyuapkan nasi kemulutnya dengan judes.
Sebelum kena
semprot akupun beranjak dari depan piring nasiku dengan wajah seribu satu keriput sambil ngoceh tanpa suara. Karena aku
sadar juga ada yang ingin kubicarakan pada ayah dan umak tentang robekan brosur
tadi, walau aku tidak yakin seratus persen ayah dan umak setuju bahwa aku ingin
sekali menyambung sekolah lanjutan. Paling jawaban yang kudapatkankan hanya
diam seribu bahasa, abang bayo dulu pernah diposisi ini berakhir campak kejakarta
mengadu nasib ke ibu kota paling kejam sedunia itu.
Awalnya abang
hadi bilang dikirimkan saja abang bayo ke jakarta supaya disekolahkannya
disana, namun sampai disana seratus persen berubah judul dan kenyatannya, abang
bayo malah jadi pedagang membantu abang hadi jualan sembako, dan akhirnya abang
bayo tidak memiliki ijazah SMA sekolahnya Cuma kandas di SMP mompang, sayang
sekali kepintarannya hanya sebatas buruh kasar dan itu penyesalannya yang
sangat mendalam makanya ia pulang dari jakarta membantu ayah dan umak
meringankan beban keluarga, niatnya begitu besar untuk memperjuangkan sekolah
kami. Dia tidak ingin senasib dengannya.
Pahitnya
kehidupan keluargaku dihimpit ekonomi krisis moneter Akhirnya aku mengurungkan
niat tidak lagi mau sekolah walaupun kemana, dan aku masih terbayang kata-kata
umak jika aku lulus nanti sudah ada teman umak kemana-mana jika ada tawaran
Manajak/ menggarap sawah dan marbabo kebun orang, baca tulis dan berhitung saja
sudah cukup kata umak, kalau untuk menyambung sekolah jelas sudah umak katakan
mereka tidak mampu membiayainya. Kalaupun aku ingin sekolah cari biaya sendiri
seperti abang bayo wakyu SMP.
Umak memberi
wejangan sebelum aku lulus sekolah, jika aku nanti sekolah SMP. Pulang balik
tiap hari ongkos, uang buku beli sendiri. Pulang sekolah cari pekerjaan manaru,
marmuat, ke batu-bata. Kalau aku ingin kepesantren kata umak harus siap mondok
tanpa belanja yang tetap, jika ada dikirim hemat-hemat, kalau memang
benar-benar mau sekolah makan nasi lauk garam pun udah jadi. Namun seperti
itupun kata umak mereka tidak mampu padahal harapan besar umak ingin sekali aku
bisa sekolah di pesantren Musthafawiyah purba baru.
Umak teringat
kisahnya saat diminta bapak sekolah arabnya dulu supaya menyambung sekolah
pesantren ke purba. Melihat keampuan umakku dalam menangkap mata pelajaran
sangat genius, kalau umak mau, bapak gurunya menjamin sudah mampu duduk di
kelas empat purba. Dan aku sangat kagum ketika umak bilang pelajaran madrasah
mereka tafsir jalalain, fikih bajuri, parrukunan, nahu kawakib, sorof mukhtasor
jiddan. Tarekh nurul yaqin. Sementara pelajaran
kami waktu sekolah arab di madrasah GUPPI jambur padang matinggi. Belum pernah
mendengar nama buku itu.
Tapi nenekku tak
memberi izin, karena nenekku tak ingin menyekolahkan putrinya-putrinya
tinggi-tinggi. Cukup saja bisa masak dan kesawah ditambah pandai
mambayu/menganyam sudah bisa jadi ibu rumah tangga. Jadi tammatan pun kelak
tetap kedapur juga kata nenek. Sementara kakekku
PERTAMA MASUK PONDOK
Ista’iddu
Saushofufakum
Aqiasu ilal amam
Ista’iddu
Setelah barisan
disiapkan santripun dipimpin ketua barisan untuk berjama’ah menyebutkan apa
saja yang disebutkannya sampai Asma’ul Husna :
Allohu goya tuna
Warrosuu
qudwatuna
Wal qur’anu
dusturuna
Wal jihadu
sabiluna
Wal mautu fi sabilillahi
asma’ maina
Aku selalu ambil
barisan pertama persis disebelah barisan kelas dua, barisanku itu selalu
disamping abang Hamdan Nasution, jadi penanda bagiku kalau jars berbunyi
langsung baris di dekatnya, orangnya hitam alamek lebih tinggi sejengkal dari
padaku suaranya agak keras seperti batuk yang nyangkut ditenggorokan asma’ul
husna yang dilantunkannya jadi jelas ditelingaku untuk dapat kuikuti apa saja
yang dibacakan seluruh santri ini.
Hari pertamaku
haplah di pesantren ini rasanya menyenangkan, bahkan aku terharu bisa berdiri
disini bersama orang-orang yang datang dari berbagai daerah yang jauh dan
ternyata bagiku tidak ada penyesalan karena tidak jadi ke SMP mompang. Suatu
kebanggaan dan penghormatan bahwa nama kampungku ini tersebar dimana-mana lewat
Brosur Yayasan Pondok Pesantren Darul Azhar. Dan ternyata brosur itu
menjodohkanku mondok di Al-Azhar milik buya bagas.
Dan inilah hari
pertamakali juga aku memakai sorban dililitkan dikepala. Baru saja aku disini
abang kelasnya sudah ramah tamah mengajari kami santri baru memakai kain sarung
yang wajib dipakai setiap hari dimana sajapun berada. Kecuali sedang mandi.
Berpakaian muslim sopan santun. Berjalan tanpa lari-lari. Masuk kelas tanpa
ribut, menyiapkan diri menyambut guru yang masuk, memberi salam dan
penghormatan kepada guru-guru yang masuk pada tiap kelas. Kata abang kelasnya
kalau panggilan Guru Laki-laki bukan bapak lagi tapi “BUYA” dan guru perempuan
itu bukan Ibu namun “UMMI” dan baru aku tau arti sesungguhnya bahwa Buya-Ummi
itu adalah sebutan untuk guru pesantren darul Azhar dan selama ini saya pikir
itu nama Buya bagas dan Ummi masin.
Jauh langkah sebelum buya masuk kelas satu, kami terdiap seolah mulut
terkunci, buya masuk dengan salam yang fasih sepertinya beliau orang arab asli,
wajahnya tampan dan putih, jenggotnya terawat laksana gambar lelaki iklan di
kotak minyak firdaus, jubah putihnya gagah dan harum sambil menenteng tas hitam
berkilat. Langkahnya tawadu’ wajahnya ramah menatap kami murid baru, lalu
menyuruh kami untuk memperkenalkan diri satu-persatu nama dan asal mulai dari
si :
1.
Marahalim marpaung asal Bagan Batu,
2.
Jonni sagala Rantau Prapat,
3.
Sapnuddin Kasim Siregar Lopian sibolga,
4.
Mahdian Tamin Rangkuti Jambur Padang Matinggi,
5.
Panyahatan Sayur
Matua,
6.
Torbanua Raja,
7.
Abdul Majid Nasution Jambur Padang Matinggi,
8.
Baihaqi Nasution Huta Hodang Muda,
9.
Safron Dalimunthe
Huta Godang Muda,
10. Zulfikar Jmabur Padang Matinggi,
11. Musthofa Husein jambur Padang
Matinggi,
12. Muklis Padangsidimpuan,
13. Herman Pelani Rantau Prapat,
14. Zainal Abidin Padangsidimpuan,
15. Suman Hadi Aek libung,
16. Wildan Pagur,
17. Muhammad Yusuf Rangkuti Jambur
Padang Matinggi,
18. Tolong isi list “WANTED” santri Al-Azhar 2003
Setelah kami
perkenalan baru buya tersebut menulis di papan tulis hitam dengan kapur tulis
putih menggunakan bahasa ‘arab berbaris supaya dapat kami baca, Ismi : H. Syariful Mahya, Lc, dan Maddah: Insya’. Ternyata SM itu
singkatan dari nama buya Syariful Mahya pelajaran Insya’.
kemudian selesai perkenlan kami
dengan buya SM beliau melanjutkan pelajaran menulis huruf Alif dan memberikan langsung
tugas menulis huruf Alif satu halaman buku tulis harus persis seperi yang di contohkan buya dengan khat Tsulus. Degan cara begini tulisan santri akan cantik sendirinya bukan lagi cakar
ayam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar